JAKARTA (Panjimas.com) — Terlepas dari ujian atau azab, bencana yang menimpa sesama manusia ini apalagi yang terjadi di negeri kita adalah jelas-jelas saudara kita sebangsa, setanah air bahkan seagama, maka seharusnya bisa kita tunjukkan sikap positif yang sebaik-baiknya. Lalu apa yang harus kita tunjukkan?
Dikatakan Ketua Dept. Dakwah, Ukhuwah dan Sumberdaya Keumatan PP DMI (Dewan Masjid Indonesia), Ustaz H. Ahmad Yani kepada Panjimas, Selasa (2/10/2018), ada tiga sikap positif yang harus kita tunjukkan saat menghadapi musibah dan bencana. Apa saja?
Pertama, mengokohkan kesabaran. Secara harfiyah, sabar artinya menahan atau mengekang. Yakni menahan diri dari melakukan sesuatu yang tidak dibenarkan Allah swt karena mengharap ridha-Nya. Sayyid Quthub di dalam tafsirnya mengakui bahwa ketika usaha sedemikian sulit, maka kadang-kadang kesabaran menjadi lemah. Karena itulah diiringkan shalat dalam kondisi seperti ini. Sebab, shalat adalah penolong yang tidak akan hilang dan bekal yang tidak akan habis.
“Shalat juga menjadi penolong yang akan selalu memperbaharui kekuatan, serta bekal yang selalu memperbaiki hati. Dengan shalat ini kesabaran akan tetap ada dan tidak akan terputus. Justeru shalat akan mempertebal kesabaran sehingga akhirnya kaum muslimin akan ridha, tenang, teguh dan yakin.”
Mengutip firmah Allah swt dalam Al Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman, mohonkanlah pertolongan Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah senantiasa beserta orang-orang yang sabar (QS Al Baqarah [2]:153).
Sikap kedua yang harus kita tunjukkan bila terjadi musibah, lanjut Ustaz Ahmad Yani, adalah memberikan pertolongan. Sebagai bukti dari rasa senasib sepenanggungan bahwa musibah di berbagai daerah di negeri kita adalah musibah kita bersama, maka menjadi kewajiban kita untuk membantu atau menolong sesuai dengan tingkat kemampuan kita masing-masing.
“Bila kita merasa tidak mampu, maka kitapun harus mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok yang tidak urgen (tidak penting sekali), karena sesulit-sulitnya kita, saudara kita yang kini telah kehilangan begitu banyak keluarga dan harta jauh lebih sulit, apalagi mereka menjadi pengunsi yang entah sampai kapan bisa kembali lagi ke tanah kelahiran yang tingkat kerusakannya sangat parah.”
Ini berarti, yang teruji dari musibah di suatu daerah bukan hanya orang-orang yang berada di daerah itu, tapi kita semua. Mungkin ada diantara kita yang merasa sudah menolong hanya dengan memberikan pakaian layak pakai, padahal bisa jadi kita sendiri tidak merasa hal itu sebagai sebuah bentuk pengorbanan, karena pakaian itu memang sudah tidak kita pakai, bahkan sudah tidak kita sukai karena bagi kita sudah tidak layak pakai.
“Ini tidak dimaksudkan untuk mengecilkan arti pemberian kita kepada saudara-saudara kita yang tertimpa musibah. Tapi, kita memang dituntut untuk berkorban dengan rasa pengorbanan yang besar. Apalagi yang seharusnya kita korbankan, tapi belum kita korbankan.
Dikatakan Ustaz Ahmad Yani, persoalan bencana di berbagai daerah adalah persoalan yang sangat besar yang bisa jadi pemerintah tidak sanggup mengatasinya, karenanya dibutuhkan partisipasi semua pihak tanpa harus saling menuduh dengan tuduhantunduhan keji.
“Tugas kita sekarang adalah menolong, bukan sekadar menonton apalagi hanya menjadi bahan perdebatan dan saling menyalahkan diantara sesama warga bangsa.”
Allah swt berfirman: Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya (QS Al Maidah [5]:2).
Sikap yang ketiga dalam menghadapi bencana adalah optimis. “Kita mengakui, bahkan bisa merasakan betapa sulit dan berat persoalan yang dihadapi oleh masyarakat yang dilanda bencana khususnya dan kita semua sebagai warga bangsa akibat dari musibah itu. Namun kitapun tidak boleh larut dalam kesedihan, sebab bila bicara tentang kesulitan, maka banyak sekali dari generasi terdahulu yang dipaparkan dalam sejarah, termasuk di dalam Al-Qur’an yang jauh lebih sulit lagi.”
Ketika Nabi Muhammad saw mengalami kondisi yang sangat sulit dalam perjuangan, beliau tidak boleh bersikap berlebihan, dalam arti tidak boleh merasa sebagai orang yang paling sulit. Harta boleh habis, saudara atau keluarga boleh berkurang, bahkan kekuatan kita menjadi semakin lemah, tapi yakinlah bahwa masih ada Allah swt yang Maha Berkuasa dan Maha Tahu atas kondisi yang kita alami. Karena itu setiap kita harus istiqamah dalam kebenaran.
“Oleh karena setiap kita, baik yang menjadi korban, keluarga, teman hingga sesama muslim dan sebagai warga bangsa, harus memiliki sikap optimis bahwa ada hari esok yang lebih baik. Kita bisa belajar dari kisah Siti Hajar yang ditempatkan suaminya, Nabi Ibrahim as di Makkah yang pada saat itu di Makkah belum ada kehidupan, tapi karena hal itu memang perintah Allah swt, maka ia menjadi yakin bahwa tidak mungkin Allah swt bermaksud buruk. Dihadapi dan dijalaninyalah kehidupan yang sulit oleh Siti Hajar bersama anaknya Ismail yang masih bayi. Ternyata Makkah hingga hari ini terus hidup, bahkan “tidak ada matinya.”
Ustaz Ahmad Yani berpesan, dengan sikap optimisme, secara bersama-sama masyarakat yang tertimpa musibah, harus membangun kembali daerah bencana, tidak hanya fasilitas hidup yang dibutuhkan, tapi juga membangun sumber daya manusia yang bertaqwa kepada Allah swt, berilmu dan sehat jasmani serta rohani.
“Disamping itu juga selalu berdo’a kepada Allah swt agar kita memperoleh kemudahan dan kekuatan yang dibutuhkan dalam mengatasi persoalan,” pesannya. (des)