JAKARTA, (Panjimas.com) – Kabar Beredarnya informasi adanya kegiatan pemurtadan (kristenisasi) yang ada di lokasi bencana alam gempa bumi di Lombok, NTB sempat dibantah oleh beberapa pihak. Termasuk datang dari tokoh pemerintahan dan tokoh masyarakat. Namun hal ini ditepis oleh pihak Komite Nasional Anti Pemurtadan (KNAP)
“Apa yang disangkakan selama ini tidak ada pemurtadan disana, ternyata setelah kami investigasi bersama rombongan MUI Pusat ternyata memang disana ada pemurtadan. Kami mendapatkan tiga temuan soal pemurtadan disana,” ujar Ustadz Bernard Abdul Jabar dari KNAP.
Ketiga titik itu adalah yang pertama soal ditemukan adanya gudang logistik dari para Kristolog dan penyebar agama yang dibungkus misi kemanusiaan itu. Gudang logistik yang cukup besar diduga adalah tempat menyimpan bantuan yang akan diberikan kepada kepada korban gempa pada saat bantuan dari kaum muslimin ini sudah habis atau sudah menipis.
Tentu saja bantuan yang akan diberikan nantinya akan ada pamrih atau ada maksud tersembunyi. Jadi bantuan itu akan dibarengi dengan praktek pemurtadan seperti halnya yang terjadi dibeberapa titik titik bencana yang ada di tanah air selama ini. Yang dilakukan oleh kelompok kelompok penyebaran agama kepada kaum muslimin itu.
“Temuan yang kedua itu bantuan bantuan yang diberikan dibalut kegiatan kristenisasi. Teramsuk kegiatan trauma healing yang dibarengi dengan lagu lagu dan nyanyian rohani disaat trauma healing itu dilakukan. Jadi apa yang selama ini disampaikan tidak ada pemurtadan ternyata memang faktanya ada,” tutur Ustadz Bernard.
Yang terakhir ditemukan oleh Ustadz Bernard dan rombongan KNAP tentang adanya fakta pemurtadan di lombok adalah soal geliat wisata yang selama berapa tahun belakangan ini terjadi di lombok juga ternyata ada unsur pendangkalan akidah bagi kaum muslimin yang menjadi kaum mayoritas di Lombok, NTB.
Bagaimana pariwisata halal yang dikampanyekan di Lombok selama berapa tahun khususnya pariwisata di 3 Gili (Trawangan, Meno dan Air) itu juga membuat remaja muslim dan pemuda Islam banyak yang bekerja di sektor pariwisata yang banyak didatangi oleh bule-bule yang mengajarkan budaya hedonis dan budaya barat. Termasuk dalam hal berpakaian yang mengumbar aurat dan serba bebas.
“Kami temukan para remaja dan pemuda Islam yang sebelumnya adalah para penghafal Al Quran setelah mereka lulus sekolah dan bekerja di sektor pariwisata air (pantai) kehidupan mereka jauh berubah. Setelah 3 hari mereka bekerja disana maka mereka pulang sudah penuh dengan tatto tubuhnya,” pungkas ustadz Bernard di sela sela kegiatan Jambore Dai Parmusi di Cianjur pada hari Rabu (26/9). [ES]