BOGOR (Panjimas.com) — Keluarga besar Bintang Bulan telah melahirkan generasi baru, yang menyebar hampir di seluruh fora perjuangan. Kebanyakan dari generasi muda ini tidak mengenal jati diri Parmusi, sebagai kelanjutan dari Masyumi.
Sementara berkembang di luar beberapa partai yang menetapkan diri seolah’ ‘ tunggal Masyumi, lah sebagai pewaris tunggal Parmusi, tanpa melihat catatan sejarah, demikian pula Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) difusikan bersama partai politik Islam lainnya menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) sebagai organisasi kemasyarakatan lslam, bukan berarti menjadi bagian dari fusi tersebut. Parmusi dideklarasikan membawa dan meneruskan visi dan misi serta perjuangan Masyumi.
Akar sejarah Parmusi adalah perjalanan panjang Masyumi yang berdiri pada tanggal 7 November 1945. Penegasan ini penting disampaikan, karena semasa Jepang tepatnya 24 Oktober 1943,telah berdiri Masyumi hasil peleburan MIAI (Majlis lslam A’la Indonesia). Masyumi yang dibentuk untuk kepentingan Jepang ini bukan partai, tetapi merupakan federasi dari empat organisasi Islam masa itu, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan ‘ Umat lslam lndonesia.
Adapun Masyumi dimaksud adalah Majelis Syuro Muslimin lndonesia (Consultative Council of Muslim Indonesians) yaitu partai politik yang didirikan melalui Kongres Umat lslam di Ketanggungan, Yogyakarta, pada 7-8 November 1945. Kongres dihadiri oleh sekitar lima ratus orang utusan organisasi sosial keagamaan yang mewakili hampir semua organisasi lslam waktu itu. Lahirnya Masyumi dalam kongres ini, ditujukan sebagai satu-satunya Partai Politik Islam Indonesia Untuk memadukan tenaga-tenaga dalam lapangan politik yang sebelumnya berserak.
Pada awal pendiriannya, hanya empat organisasi anggota Masjumi, yaitu Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perserikatan Ummat Isiam dan Persatuan Ummat lslam. Menyusul kemudian bergabung organisasi-organisasi lslam lainnya, antara lain Persatuan lslam (Bandung), Al-Irsyad (Jakarta), Al-Jamiyatul Washliyah dan Al-lttihadiyah (keduanya dari Sumatera Utara). Dengan pilar 8 organisasi Islam tersebut, segera setelah berdiri, Masyumi tersebar merata di segenap penjuru tanah air.
Partai yang sempat berpusat di Yogyakarta dan pindah Ke Jakarta, karena kembalinya ibukota negara indonesia ini, hingga 31 Desember 1950, telah memiliki cabang ditiap kabupaten, anak cabang di hampirsetiap kecamatan dan ranting di hampir seluruh desa di Jawa. Artinya dalam 5 tahun sejak berdiri, Masyumi telah mampu membangun instrumen kekuatan partai,yang mungkin tidak tertandingi hingga kini.
Sampai akhir tahun 1950, Masyumi memiliki 237 cabang, 1.080 anak cabang dan 4.982 ranting, dengan jumlah anggota tercatat mencapai 10 juta orang. Diindikasikan faktor penyebab Masyumi cepat berkembang adalah tingginya peran dan keterlibatan ulama di masing-masing daerah serta ukhuwah Islamiyah yang relatif tinggi pada masa-masa sesudah revolusi.
Meski PSll dan NU memisahkan diri dari Masyumi dan menjadi partai sendiri, masing-masing pada 1947 dan 1952, kekutan politik Masyumi sangat signifikan dalam perolehan suara DPR dan Konstituante dalam pemilu 1955. Di DPP Masyumi meraih 57 kursi (20,92%), menduduki urutan kedua dibawah PNI yang memperoleh 57 kursi (22,32%). Sedangkan NU dengan 45 kursi (18,41%) sebagai kekutan politik ketiga, disusul PKI dengan 39 kursi (16,36%) sebagai kekuatan keempat. Peta kekutan yang hampir sema terjadi di konstituante, dimana PNI menduduki urutan pertama, memperoleh 119 kursi (23,97%), Masyumi dengan 112 kursi (20,59%) duduk di rutan kedua, disusul NU dengan 91 kursi (18,47%), dan PKI dengan 80 kursi (16,17%) di urutan keempat.
Meski menjadi urutan kedua, namun Masyumi merupakan partai Islam terbesar dengan pengaruh yang luas. Dalam pemilu 1955, yang dikenal sangat demokratis itu, Masyumi mendapat dukungan suara besarsecara merata, dengan menang di 11 dari15 daerah pemilihan di seluruhIndonesia. Ini menunjukkan bahwa Masyumi memiliki wilayah pengaruh yang paling luas. Bandingkan dengan PNI dan NU yang masing-masing hanya menang di dua daerah pemilihan. Namun karena pada saat itu sistem pemilu yang digunakan proporsional, sehingga perolehan suara tidak otomatis langsung terbesar.
Selain kekuatan. masa, perlu dicermati, bahwa perjuangan Masyumi dilandasi oleh konsepsi yang jelas sesuai dengan nilai-nilai Islam. Bahkan nilai-nilai prospektif kekinian telah menjadi bahan perjuangan dalam praktek politik Masyumi waktu itu. Misalnya dalam tafsir Anggaran Dasar disebutkan, Masyumi menjunjung tinggi asas musyawarah, kedaulatan rakyat, dan hak-hak asasi manusia.
Dalam kiprah politiknya, Masyumi adalah salah satu partai pembela demokrasi yang paling terkemuka dan konstitusional dalam teori dan praktek. Kasimo tokoh Partai Katolik pernah berujar, bahwa dirinya lebih senang bekerjasama dengan Masyumi walaupun secara ideologi berbeda, karena mereka sangat memegang prinsip-prinsip sebagai demokrat dari pada sebagai seorang politisi.
Bagi Masyumi nilai-nilai perjuangan merupakan masalah prinsip yang mesti dipegang teguh. Tidak jarang hal ini dilakukan dengan sikap frontal dan argumentatif konstitusional. Lihatlah bagimana sikap Masyumi yang secara tegas menentang Nll yang diploklamirkan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, setelah menerima hasil Konferensi Meja Bundar, yang dipimpin Moh Hatta di Den Haag, Belanda, yaitu Belanda akan menyerahkan kedaulatan kepada Republik lndonesia Serikat (RlS) pada akhir bulan Desember 1949.
Sikap Masyumi yang mendapatkan persetujuan dalam Muktamar Masyumi di Yogyakarta bulan Desember 1949 ini, secara konsisten diperankan oleh M. Natsir dalam Kabinet Natsir yang dibentuk pada tanggal 7 September 1950, setelah RIS kembali menjadi Rl, pada tanggal 15 Agustus 1950, Natsir mengirim surat kepada SM Kartosoewirjo mengajak untuk bersatu kembali dalam batas-batas hukum negara. Meskipun ditolak oleh SM Kartosoewirjo.
Secara kelembagaan Masyumi juga mengeluarkan statement keras, “Masyumi hendak mencapai maksudnya melalui jalan yang sesuai dengan Undang Undang Dasar dan semua Undang Undang Negara RI dan tidak dengan jalan kekerasan, atau dengan jalan membentuk Negara dalam Negara RI”.
Bahkan untuk mempertahankan prinsip perjuangan, ‘Masyumi telah mengambil keputusan yang fatal. Misalnya “dalam kasus PRRI, Masyumi bahkan rela membubarkan diri setelah jatuh vonis dalam Keputusan Presiden, Nomor: 200/1960 sebagai maklumat membubarkan Masyumi, yang pembubarannya dilakukan sendiri oleh Masyumi. Dengan pernyataan, jika dalam tempo seratus hari, Masyumi tidak membubarkan diri, maka partai itu dinyatakan sebagai partai terlarang. Sebab itulah Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito dan Sekjennya Muhammad Yunan Nasution, mengeluarkan pernyataan politik membubarkan Masyumi, mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Namun demikian ,ketua Masyumi Prawoto Mangkusasmito, tidak menghiraukan tekanan pemerintah agar mengutuk pemimpin-pemimpin Masyumi yang terlibat, dalam pemberontakan tersebut. Ia menolak dan tetap pada-pendiriannya bahwa Masyumi sebagai institusi tidak terlibat dalam pemberontakan tersebut. Sehingga, menurutnya, Masyumi tidak perlu mengutuk seperti yang diminta oleh Pemerintah saat itu.
Dalam perjalanan waktu, sikap tidak mengutuk para anggota Masyumi yang terlibat dalam PRRI ini mengandung hikmah yang besar. Berbeda dengan PSI yang mengutuk Sumitro Djoyohadikusumo, telah berakibat perpecahan yang hebat di kalangan PSI. Toh para pimpinan PSI tetap saja diseret dan dijebloskan ke penjara.
Oleh karena itu tidak salah apabila jejak perjuangan Masyumi untuk ummat dan bangsa ini tidak bisa begitu saja dihapuskan. Di era kekinian Masyumi tetap menjadi inspirasi paling aktual dan relevan bagi dunia kepartaian dan perpolitikan ditanah air. (des)