JAKARTA, (Panjimas.com) – Ketua Gerakan Nasional Antimiras (Genam) Fahira Idris meminta Komisi Yudisial (KY) memeriksa Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Klas I-A Jayapura yang mengabulkan gugatan PT Sumber Makmur Jayapura (SMJP) pemilik dua kontainer berisi 1.200 kardus atau 9.700 Liter minuman keras (miras) berbagai jenis, melawan Polisi Militer Kodam (Pomdam) XVII/ Cenderawasih TNI AD dan Satpol PP Provinsi Jayapura.
Keputusan hakim yang menilai Pomdam telah melakukan perbuatan melawan hukum dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) lantaran menahan dua kontainer produk miras dan memerintahkan Satpol PP Jayapura segera mengembalikan ribuan liter miras tersebut adalah preseden buruk bagi penegakan Perda Antimiras Provinsi Papua dan upaya bangsa ini khususnya semua elemen di tanah Papua yang sudah berkomitmen melawan produksi, distribusi, dan konsumsi semua jenis miras termasuk yang tradisional.
“Saya minta KY turun untuk mengawasi dan memeriksa hasil putusan dan hakim yang menangani kasus ini. Harusnya kita berterimakasih kepada TNI AD dalam hal ini Pomdam XVII/Cenderawasih karena sigap menegakan perda dan melindungi warga Papua dari bahaya dan kerusakan akibat miras. Tapi bukannya berterimakasih, tindakan tegas dan berani ini dianggap melanggar HAM. HAM siapa? Pengusaha miras?” tukas Fahira di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta Senin, (24/9).
Fahira mengungkapkan, selain Aceh, Provinsi Papua adalah satu-satunya daerah yang mempunyai Perda yang melarang total miras yaitu Perda Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol. Perda ini berlaku di semua kabupaten/kota/distrik yang ada di provinsi ini. Bahkan komitmen semua pemangku kepentingan di Papua untuk menegakan Perda Antimiras ini diwujudkan dengan Penandatangan Pakta Integritas Pelarangan Miras yang ditandatangai 30 Maret 2016.
“Alasannya lahirnya perda antimiras dan pakta integritas ini sangat jelas dan tegas yaitu untuk menyelamatkan orang asli Papua dari kepunahan karena miras merupakan penyebab utama kematian orang asli Papua. Selain itu, miras juga menjadi pemicu kriminalitas dan kecelakan lalu lintas yang berujung kematian. Jadi keputusan Hakim PN Jayapura ini sangat aneh karena diduga bertentangan dengan perda dan tidak memperhatikan kepentingan publik,” papar Fahira.
Jika judulnya perdanya pelarangan produksi, pengedaran dan penjualan minuman beralkohol, lanjut Fahira, jangankan miras yang illegal, miras yang legal saja menjadi barang yang dilarang masuk, diedarkan, apalagi dikonsumsi di Papua. Jadi, kesimpulan putusan hakim ini sangat janggal.
“Jangankan miras pabrikan, Perda Miras Papua ini bahkan melarang tegas setiap orang, kelompok orang, atau badan hukum perdata memproduksi minuman beralkohol yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan/atau bahan alami serta memproduksi minuman beralkohol dengan cara racikan atau oplosan, termasuk di dalamnya miras tradisional. Makanya, harus didalami apa pertimbangan hakim memenangkan perusahaan pemilik miras ini,” pungkasnya. [RN]