JAKARTA (Panjimas.com) – Disela-sela Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas), sejumlah perwakilan Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) dari 22 provinsi, mendatangi Kantor Kementerian Agama di Jl. Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Jum’at (21/9/2018) siang. Mereka diterima langsung oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin beserta jajarannya.
Dari pihak PA 212, hadir Ustaz Fikri Bareno selaku Wakil Sekretaris Umum (Wasekum), Egy Sujana, SH sebagai Penasihat PA 212, dan Hj. Nurdiati Akma (Anggota PA 212). Perwakilan PA 212 dari daerah terdiri dari PA 212 DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatra Utara, Ambon, dan wilayah Indonesia lainnya.
Dalam pertemuan tersebut, Ustaz Fikri Bareno menyampaikan keprihatinan umat Islam terkait Surat Edaran Kementerian Agama RI terkait penggunaan pengeras suara di masjid, langgar dan musholla.
“Azan itu panggilan shalat dan merupakan syiar Islam. Kenapa soal adzan harus diintervensi pemerintah. Dengan aturan itu, membuat ulama dari Sabang sampai Merauke merasa terpukul dan sangat melukai hati umat Islam yang jumlahnya 200 juta ini,” kata Ustaz Fikri menyesalkan.
Lebih lanjut Ustaz Fikri Bareno mengingatkan Menteri Agama, agar jangan sejarah terulang. Ingat, dimasa kolonial Belanda, Ulama di Banten melakukan perlawanan ketika azan dipersoalkan.
“Kami ingatkan Pak Menteri sebagai wujud cinta kami sesama muslim. Kenapa adzan yang cuma tiga menit dipersolkan. Sedangkan, konser musik dengan suara gaduhnya tidak dipermasalahkan. Begitu juga dengan suara lonceng gereja kaum Nasrani yang tidak disoalkan,” tandasnya.
Ustaz Firi menjelaskan, ketika umat Hindu di Bali melakukan ibadah Nyepi, umat Islam sangat patuh dan toleran. Karena itu jangan dipersoalkan adzan dengan pengeras suara. Lagipula tidak ada adzan yang lamanya sampai 1-3 jam. “Dengan aturan pemerintah terkait pengeras suara adzan di masjid, jelas merupakan tamparan bagi umat Islam,” katanya.
Senada dengan Penasihat PA 212 Egy Sujana, SH. Memang aturan itu sudah ada sejak tahun 1978, dengan mengacu Instruksi Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Nomor: KEP/D/78 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musholla.
“Aturan itu baru dirasakan gejolaknya sekarang. Kenapa? Karena dalam perspektif sosilogis, ada pergerseran persepsi atau kesadaran masyarakat, khususnya umat Islam. Aturan itu kini jadi masalah. Sebaiknya Instruksi Dirjen Bimas tahun 78 itu dicabut,” desak Egy.
Egy merasa heran, kenapa panggilan shalat Subuh diatur pengeras suara masjid ke dalam. Kalau ada non-muslim yang merasa terganggu dengan suara adzan, harusnya mereka bersikap toleransi. Begitu juga umat Islam harus menghormati peribadatan saudaranya yang non-muslim. Dalam Al Qur’an jelas, “Bagiku agamaku, Bagimu-agamamu.” Itu harus clear dulu.
“Kesadaran umat Islam saat ini kian bertambah. Kita pemerintah membuat aturan yang sangat menyakiti umat Islam, maka kita punya hak untuk melawan, dan kita bela agama Allah. Karena itu, bebaskan umat Islam untuk adzan dan mengaji dengan pengeras suara, terutama saat bulan suci Ramadhan. (des)