JAKARTA, (Panjimas.com) — Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia mendesak Pemerintah Republik Indonesia (RI) untuk memanfaatkan posisi Indonesia sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) periode 2019-2020 dalam upaya mengakhiri krisis kemanusiaan terhadap etnis Muslim Rohingya di Myanmar.
“Pemerintah Indonesia harus berperan aktif sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk penyelesaian krisis kemanusiaan terhadap masyarakat Rohingya di Myanmar,” ujar Fatia Maulidiyanti dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di Jakarta, Kamis (20/09).
Sementara itu, salah satu anggota Koalisi Masyarakat Sipil, Amnesty International Indonesia menyarankan kepada Pemerintah RI untuk menggunakan posisi Indonesia di DK PBB untuk merekomendasikan situasi di Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC).
“Karena Myanmar bukan anggota ICC, satu-satunya cara untuk mengadili mereka adalah dengan merekomendasikan situasi bencana kemanusiaan di Myanmar kepada Dewan Keamanan dan segera membuat resolusi. Pertimbangkan untuk menerapkan tekanan lain, seperti pemberlakuan embargo ekonomi,” pungkas Papang Hidayat, Peneliti Senior Amnesty International Indonesia, dikutip dari Antara.
Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia, antara lain terdiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Human Rights Working Group (HRWG), Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asia Justice and Rights (AJAR), Forum Asia.
Sementara itu, menurut Kontras, pemerintah Myanmar ketika menanggapi kasus krisis kemanusiaan itu di tingkat regional dan internasional justru bersikap defensif dan membentengi diri dengan prinsip non-intervensi dan kedaulatan negara.
Oleh karena itu, Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia meminta Pemerintah RI untuk lebih proaktif dalam memainkan peran Indonesia pada saat menjabat sebagai anggota dalam Dewan Keamanan PBB, yang dinilai sebagai aktor dan badan strategis untuk menyelesaikan kasus bencana kemanusiaan di Myanmar.
Hal itu karena PBB memiliki dalil untuk melakukan intervensi kemanusiaan, yakni “Responsibility to Protect” (RtoP), sehingga dapat bertindak untuk menghentikan operasi militer yang kejam di Myanmar dan meminta pertanggungjawaban atas segala pelanggaran yang telah terjadi.
“Kami menekankan pentingnya penegakan ‘responsibility to protect’ yang ada pada Piagam PBB. Negara wajib dan bertanggungjawab untuk melindungi warga negaranya. Bila negara dinilai gagal dalam melindungi warganya, maka masyarakat internasional berhak ikut campur,” ujar Fatia dari KontraS, dikutip dari Antara.
Selanjutnya, dalam rekomendasi laporan Misi Pencari Fakta PBB tentang Myanmar disebutkan bahwa Dewan Keamanan PBB harus memastikan pertanggungjawaban atas kejahatan di bawah hukum internasional yang dilakukan di Myanmar.
Hal itu akan lebih baik lagi apabila kejahatan kemanusiaan tersebut dapat dirujuk ke Mahkamah Pidana Internasional atau secara alternatif dengan menciptakan Pengadilan Pidana Internasional ‘ad hoc’.[IZ]