JAKARTA (Panjimas.com) – Beberapa waktu lalu, Rabu (29/8), Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar Rapat Pleno ke-30 di gedung MUI di Jakarta. Dalam rapat yang dihadiri dewan pertimbangan MUI tersebut memutuskan, organisasi MUI seyogyanya tidak digunakan untuk kepentingan politik kekuasaan yang dapat memecah-belah umat Islam dan bangsa Indonesia.
Keputusan MUI itu terkait posisi KH. Ma’ruf Amin yang merupakan ketua umum MUI dan juga calon wakil presiden pada pemilihan presiden 2019. Keputusan rapat pleno menyebut keputusan didasarkan pada ketentuan keorganisasian MUI, khususnya Pedoman Rumah Tangga Pasal 1 Ayat 6 Butir f yang berbunyi: jabatan ketua umum dan sekretaris jenderal/umum tidak boleh dirangkap dengan jabatan politik di eksekutif dan legislatif serta pengurus harian partai politik.
Maka, Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin harus mengamalkan perintah organisasi, yaitu melepaskan jabatan sebagai ketua umum apabila terpilih menjadi wakil presiden RI. “Sekarang baru calon, tapi dengan kesadaran sendiri beliau menyatakan nonaktif. Maka pelaksana harian diamanahkan kepada dua orang pimpinan, Yunahar Ilyas dan Zainut Tauhid Sa’adi,” ujar Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Prof. Din Syamsuddin.
Sebelumnya Wakil Ketua Umum MUI H Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan KH Ma’ruf Amin memilih non-aktif sebagai Ketua Umum MUI guna menjaga independensi lembaga para ulama tersebut. Keputusan tersebut semata-mata didasari pertimbangan agar posisinya sebagai calon wakil presiden tidak menimbulkan pro-kontra di masyarakat, termasuk di internal MUI.
Sebelumnya, Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan, status nonaktif Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin sudah sesuai pedoman dasar dan pedoman rumah tangga organisasi tersebut. “Status itu sudah sesuai Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tanggal MUI,” kata Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Didin Hafidhuddin kepada wartawan, belum lama ini (30/8).
Ia menjelaskan, MUI memiliki pedoman dasar dan pedoman rumah tangga, bukan anggaran dasar. Dalam pedoman itu, ia melanjutkan, diatur hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme organisasi, mekanisme kepengurusan, dan sebagainya.
Sementara itu, Ketua DPP PAN Yandri Susanto meminta KH. Ma’ruf Amin mundur sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Alasannya, Ma’ruf kini sedang berkonsentrasi sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres) dan tidak elok masih mempertahankan posisi di MUI.
“Selama ini posisi Ketua Umum MUI belum pernah terlibat dalam politik praktis atau politik secara langsung,” kata Yandri di kediaman Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta, Rabu (19/9).
Pedoman Rumah Tangga MUI
Hal senada juga dikatakan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Prof. KH. Didin Hafidhuddin, dalam Pedoman Rumah Tangga Pasal 1 Ayat 6 butir f disebutkan, jabatan ketua umum dan sekretaris jenderal/umum tidak boleh dirangkap dengan jabatan politik di eksekutif dan legislatif serta pengurus harian partai politik. Ia menekankan, aturan itu berlaku apabila jabatan yang disebutkan “ketika jadi” di eksekutif dan legislatif harus mundur.
Didin menekankan, MUI ingin setiap pejabat di organisasi itu bisa melakukan kegiatan sesuai pedoman dasar dan pedoman rumah tangga yang sudah ditentukan. “Makanya, kita tegaskan benar untuk nonaktif sementara,” kata dia.
Didin mengatakan, Dewan Pertimbangan khawatir terjadi gejolak di internal MUI apabila ada usulan KH Ma’ruf harus mundur. Sebab, ia mengatakan, hal itu bertentangan dengan Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI. “Kita tak ingin itu, kita hanya menguatkan semuanya,” ujar dia.
Direktur Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor, Jawa Barat, itu menegaskan keputusan Dewan Pertimbangan MUI hanya menguatkan rapat Dewan Pimpinan MUI yang diselenggarakan pada Selasa lalu. Pun, apabila proses pemilihan presiden selesai, Dewan Pertimbangan akan mengadakan rapat untuk menentukan lebih lanjut status KH Ma’ruf, baik itu terpilih atau tidak terpilih sebagai wakil presiden. “Kita tak ingin ada tindakan yang dilakukan sendiri. Sebab, ini lembaga harus dijaga keabsahannya,” ujar dia. (des)