JAKARTA, (Panjimas.com) – Sebuah acara yang konon digadang-gadang sebagai lambang pemersatu Pancasila dan perekat NKRI. Yakni acara Kirab Satu Negeri dan acara Dzikir Kebangsaan ternyata justru hal itu malah mendapat penolakan di beberapa tempat.
Termasuk diantaranya di daerah Riau, bumi melayu yang melahirkan banyak ulama dan tokoh tokoh pejuang umat semisal Ustad Abdul Somad (UAS), Ustadz Zulkifli Ali dan banyak ulama lainnya. Acara Kirab Satu Negeri dan Zikir Kebangsaan serta kedatangan Ketua Umum GP Ansor, Gus Yaqut Cholil Quomas mendapat penolakan masyarakat dan kaum muslimin di sana. Sedianya pada hari Ahad (23/9) mereka akan hadir dan mengadakan acara disana.
Bahkan seorang Anggota DPRD Kabupaten Bengkalis, Syaukani Alkarim melalui akun facebooknya menulis sebuah tulisan panjang tentang penolakan masyarakat di sana terhadap acara yang mengusung ide Islam Nusantara itu.
“Menggelikan, sekaligus terdengar menjijikkan, ketika mendengar Tuan ingin berkhutbah tentang kebangsaan, NKRI, atau tentang Pancasila, di kampung kami, Riau,” begitu Sayukani mengawali tulisannya yang beredar di grup-grup WA, sampai dengan hari Rabu (19/9) ini.
Catatan Syaukani ini mendapat banyak nada positif dukungan terhadap apa yang dia tulis. Banyak yang setuju terhadap tulisan anggota DPRD itu. Bahwa itu sekedar untuk mengingatkan GP Ansor dan Banser yang sering diberitakan menolak kedatangan tokoh tokoh ulama yang ada di pulau Jawa.
“Kita sudah diperalat gerombolan orang yang rakus kekuasan, takut jabatannya hilang. Atas nama negeri, NKRI, Pancasila, kebangsaan kita gegap gempita menolak saudara seiman, sebangsa dan setanah air. Ini semua justru merapuhkan persatuan dan kesatuan bangsa,” demikian salah satu komentar terhadap tulisan Syaukani.
Adapun yang jelas jelas sudah menolak kegiatan acara ‘Kirab Satu Negeri’ dan ‘Dzikir Kebangsaan’ yang digagas GP Ansor, itu adalah Kesultanan Siak. Mereka menolak acara Kirab Satu Negeri itu sebab merasa pihak panitia ingin mengajarkan kebangsaan kepada masyarakat Melayu. Yang memang tidak perlu diragukan lagi komitmen kebangsaan masyarakat Melayu disana.
“Jangan ajarkan kami kebangsaan dengan pemahaman kalian, sebab kami orang Melayu Riau dan keluarga kerabat Kesultanan Siak sudah lebih dahulu mempraktikkan kebangsaan dan nasionalisme yang benar dalam kehidupan kami sehari-hari sejak Republik Indonesia ini berdiri,” tegas pihak kesultanan.
Kesultanan juga menolak kehadiran Ketua GP Ansor Yaqut Cholil di bumi Melayu. Alasannya, pria yang akrab disapa Gus Yaqut itu telah membiarkan persekusi terhadap ulama yang dilakukan oleh Banser sebagai organisasi kepanjangan dari GP Ansor.
“Kami juga tidak mengijinkan Ketua GP Ansor saudara Yaqut Cholil untuk menginjakkan kaki di bumi Melayu selagi tindakan persekusi terhadap dakwah ulama kami kalian lakukan lewat tekanan Ormas kalian di Jawa sana,” tegas perwakilan Kesultanan Siak dalam rilis pers.
Bahasa Syaukani Alkarim lebih pedas lagi. Dalam tulisannya dia mengatakan:
“Izinkan kami bertanya: Apa yang sudah negeri Tuan sumbangkan kepada Indonesia, sehingga Tuan merasa berhak untuk menceramahi kami soal kebangsaan ? Minyak kampung kami juga ikut dalam tol, dalam jalan yang tuan injak di kampung Tuan. Minyak kami sudah membangun gedung gedung di kampung Tuan, bahkan republik ini. Itu sumbangan kami, mana sumbanganmu ?,” demikian Syaukani dalam tulisannya itu.
Berikut catatan lengkapnya diambil dari facebook Syaukani Alkarim:
Menggelikan, sekaligus terdengar menjijikkan, ketika mendengar Tuan ingin berkhutbah tentang kebangsaan, NKRI, atau tentang Pancasila, di kampung kami, Riau.
Tuan mungkin sedang mengidap amnesia sejarah. Baiklah, aku sampaikan lagi, bahwa ketika negeri yang bernama Indonesia ini merdeka tahun 1945, kami masih negara berdaulat, dan lalu kami dengan kesadaran memutuskan untuk bergabung, menjadi Indonesia.
Kami masuk ke Indonesia, bukan dengan tangan kosong seperti Tuan. Kami menyumbang 10 provinsi, 2 daerah jajahan, 39 butir berlian, uang 13 juta gulden, menyumbang minyak, dan memberikan bahasa. Bahkan sampai hari ini, tanah kami, mulai dari blok kangguru, Dumai, dan Pakning, masih menyusukan negeri ini dengan 900 ribu barrel setiap hari. Kami berikan juga hasil hutan, kelapa sawit, hasil laut, dan berbagai komoditas lain.
Sejak eksploitasi stanvac sampai minyak bumi kami mengisi lambung kapal Gage Lund tahun 1955, kami sudah menyumbang ribuan trilyun kepada negeri ini. Kami juga telah memberikan bahasa, agar Tuan petah berkata kata.
Izinkan kami bertanya: Apa yang sudah negeri Tuan sumbangkan kepada Indonesia, sehingga Tuan merasa berhak untuk menceramahi kami soal kebangsaan ? Minyak kampung kami juga ikut dalam tol, dalam jalan yang tuan injak di kampung Tuan. Minyak kami sudah membangun gedung gedung di kampung Tuan, bahkan republik ini. Itu sumbangan kami, mana sumbanganmu ?
Tuan hanya mencintai negeri ini dengan tagar #nkrihargamati, atau #sayapancasilasayaIndonesia, lalu Tuan merasa sudah demikian Indonesia?
Di kampung kami, orang kampung Tuan bisa menjadi apa saja, jadi gubernur, bupati, walikota, pengusaha, pejabat, anggota legislatif, bahkan menjadi bajingan pun boleh. Bisakah hal yang sama terjadi di kampung Tuan?
Di mana adab Tuan? Tuan menikmati kekayaan kami, tapi Tuan tanpa malu, tanpa moral mempersekusi ulama kami dan mempertanyakan ke Indonesiaannya. Apakah Tuan waras?
Berhentilah melakukan omong kosong, belajarlah untuk memiliki rasa malu. Antara kami dan Tuan tidak layak untuk disandingkan dalam ke Indonesiaan. Berhentilah meludahi muka sendiri. [ES]