JAKARTA, (Panjimas.com) — CEO Polmark Indonesia Research Center Eep Saefulloh Fattah mengatakan politik uang pada pesta demokrasi sudah tidak lagi efektif mempengaruhi pilihan masyarakat. Menurutnya, kecenderungan tersebut muncul pada temuan riset yang telah dilakukan oleh Polmark selama enam tahun terakhir.
Eep Saefulloh mengatakan praktik politik uang masih marak di masyarakat. Namun, Polmark mencatat, 80 persen responden menganggap bahwa politik uang tidak bisa dibenarkan.
“Datanya menunjukkan bahwa penerimaan uang terjadi oleh pemilih tetap, dampak secara elektoral terhadap pilihan mereka sangat rendah,” pungkas Eep di Jakarta, Selasa (18/09).
Ia pun mencontohkan bagaimana politik uang tidak efektif pada Pilkada DKI 2017 lalu. Polmark menilai adanya sentimen khusus membuat isu politik uang menjadi tenggelam.
Eep menjelaskan kondisi tersebut karena pemilih sudah semakin mandiri atau kesadaran memilih datang dari sendiri.
”Kemandirian artinya semakin banyak orang yang bertumbuh pada dirinya dalam menentukan pilihan,” tukasnya, dikutip dari ROL.
Ia pun menjelaskan tentang kemandirian pemilih tersebut bisa karena sejumlah faktor. Misalnya, ia menjelaskan, dimulai dari lingkaran terdekat, seperti diri sendiri, keluarga, tetangga, dan RT/RW.
Sementara itu, Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia Valina Singka Subekti menilai hasil riset tersebut merupakan hal yang positif. Artinya, Valina menerangkan, ada perubahan tren kecenderungan pemilih.
“Ini adalah hasil dari dinamika panjang sejak kita mengadopsi sistem pemilihan langsung sejak pemilu 2004,” tandasnya.
Polmark mengolah data dari 142 survei yang dilakukan dalam rentang waktu enam tahun, yakni sejak 6 Februari 2012 hingga 11 Juni 2018. Jumlah responden yang digunakan masing-masing survei nasional, yaitu 2.600 responden dengan margin of error 2 persen. Secara keseluruhan responden yang dilibatkan sebanyak 123.330 orang.[IZ]