JAKARTA (Panjimas.com) – Komisi IX DPR RI menggelar Rapat Kerja Gabungan (RAKERGAB) dengan Menteri Keuangan dan Menteri Kesehatan, Senin (17/9) di Ruang Rapat Komisi IX, Gedung Nusantara 1. Selain itu, juga ada agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Direktur Utama BPJS Kesehatan di hari yang sama.
Dalam rapat tersebut membahas bagaimana menanggulangi dan mengendalikan defisit keuangan di BPJS Kesehatan. Jawaban itulah yang ditunggu oleh jutaan pasien, dokter, rumah sakit yang terkena imbas dari defisitnya keuangan BPJS yang begitu besar untuk tahun ini.
Terungkap, defisit BPJS Kesehatan pada 2018 mencapai Rp 10,98 triliun. Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo menerangkan, angka itu merupakan koreksi setelah audit oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sebelumnya, defisit disebut mencapai angka Rp 16,58 triliun.
“Setelah BPKP melakukan review itu ada koreksi, koreksinya sebesar Rp 5,6 triliun. Sehingga hasil review BPKP defisit BPJS sebesar sekutar 10,98 triliun,” kata Mardiasmo, dalam rapat.
Mardiasmo mengatakan, koreksi ini terjadi karena adanya bauran kebijakan yang belum dihitung oleh BPJS Kesehatan. Terkait terus defisitnya keuangan BPJS Kesehatan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI telah menyusun sejumlah langkah-langkah untuk membantu permasalahan.
Mardiasmo menuturkan, hal pertama yang dilakukan Kemenkeu adalah meningkatkan peran pemerintah daerah. Salah satu caranya adalah menerbitkan PMK 183/2017 untuk mengintersep tunggakan iuran Pemda, tepatnya berisi mendisiplinkan Pemda.
Selain itu juga melalui Peraturan Presiden soal Jaminan Kesehatan Nasional untuk memanfaatkan pajak rokok. “Kemudian juga menerbitkan PMK 222/2017 Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBT-CHT) Tembakau sebesar Rp 1,48 triliun akan mendukung supply side,” kata Mardiasmo.
Selanjutnya, Mardiasmo mengatakan, pihaknya juga melakukan efisiensi dana operasional BPJS Kesehatan. Hal itu dilakukan dengan menerbitkan PMK 209/2017 tentang besaran persentase dana operasional.
Kemenkeu juga bersinergi dengan penyelenggara jaminan sosial lainnya. Kerja sama, ia mencontohkan, bisa dilakukan dengan BPJS Ketenagakerjaan, PT Taspen, dan PT Asabri.
Hal yang juga dilakukan Kemenkeu mengatasi defisit BPJS Kesehatan ini juga dengan mempercepat pencairan dana iuran penerima bantuan iuran (PBI). “Menerbitkan PMK 10/2018 tentang tata cara penyediaan, pencairan, dan pertanggungjawaban dana iuran jaminan kesehatan PBI,” katanya lagi.
Fachmi juga mengungkapkan, kinerja keuangan lembaganya selalu diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setiap tahunnya. Tidak hanya itu, pihaknya selalu melaporkan kinerja kepada kementerian terkait.
Soal besarnya angka defisit BPJS Kesehatan, Fachmi mengungkapkan alasan sulitnya mengatasi defisit tersebut. Alasan utama adalah besaran iuran peserta yang dinilai kurang tinggi. “Ada posisi bahwa iuran itu underprice (terlalu rendah), kalau kita bicara dalam konteks jangka panjang,” kata Fachmi dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI, di Kompleks Senayan, Senin (17/9).
Ia memberikan data premi yang minus pada masyarakat pengguna BPJS Kesehatan setiap bulannya. Bahkan, jumlah minus tersebut mengalami penambahan dari 2016 sampai 2017.
Pada 2016, biaya per orang setiap bulannya mencapai Rp 35.802, padahal premi per orangnya hanya Rp 33.776. Sementara itu, pada 2017, per orang biayanya mencapai Rp 39.744, tetapi premi per orang sebesar Rp 34.119. Artinya, pada 2016 ada selisih Rp 2.026 dan pada 2017 Rp 5.625.
“Semakin bertambah peserta, namun iurannya jaraknya tidak teratasi, maka biaya akan meningkat. Jadi, ada masalah yang lebih serius ke depan dengan iuran ini, defisit akan semakin hebat,” ujar Fachmi menegaskan.
Fachmi juga memprediksi, defisit ini masih belum mencapai puncaknya dan bisa saja bertambah. Hal ini disebabkan, menurut dia, pemanfaatan program BPJS Kesehatan belum mengalami maturitas sebagaimana program lainnya yang berjalan lama.”Ini juga harus diperhatikan sungguh-sungguh dalam jangka panjang,” kata dia.
Dana talangan Kemenkeu
Kemenkeu RI berencana memberikan dana talangan terkait defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp 4,9 triliun. Menurut Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf, jumlah tersebut tidak cukup untuk menutupi defisit yang ada.
“Yang disebut bailout ini Rp 4,9 triliun, jauh dari kebutuhan. Kebutuhan itu Rp 16,5 triliun. Kalau hanya Rp 5 triliun ini, setelah Desember kita kejang-kejang lagi,” kata Dede kepada wartawan, Senin (17/9).
Menurut Dede, untuk menyelamatkan BPJS Kesehatan harus diberikan dana bailout yang lebih serius. Ia mengatakan, Kemenkeu harus memperhitungkan ulang bahwa jumlah dana bailout yang akan diberikan tidak akan cukup mengatasi masalah ini. “Kalau ngasih infus itu jangan tanggung-tanggung,” kata Dede menegaskan.
Permasalahan ini, kata Dede menimbulkan dilema bagi BPJS Kesehatan. Pasalnya, ada dana yang belum bisa sesuai dengan nilai aktuaria. Selain itu, ada dana lain yang masih terkumpul di masyarakat.
“Tapi pemerintah sesuai dengan Undang-undang, tentu kesehatan ini harus mampu memberikan pelayanan dasar kepada masyarakatnya. Artinya, pelayanan dasar masyarakat ini ujung-ujungnya menyiapkan alokasi anggaran,” kata dia. (des/rep)