JAKARTA (Panjimas.com) – Tepat 73 tahun lalu, pada 19 September 1945, di Lapangan IKADA yang sekarang dikenal dengan lapangan Monas, pernah terjadi peristiwa bersejarah yang sangat penting, yakni Rapat Raksasa IKADA. Saking pentingnya, Bung Hatta berkali-kali berpesan bahwa tidak mungkin memperingati Proklamasi 17 Agustus 1945 tanpa Rapat IKADA 19 September 1945.
Itulah sebabnya, Proklamasi menjadi rentetan peristiwa yang tak bisa dipisahkan, dalam hal ini Peristiwa Rapat IKADA. Semangat baru bergema di dada putra-putri bangsa Indonesia, mengawali sesuatu yang baru: Indonesia Merdeka!
Pada 17 Agustus 1945 adalah hari di mana Proklamasi Kemerdekaan yang diumumkan terbatas di hadapan 200-an orang. Sedangkan pada 19 September 1945 mendapat kesempatan dinyatakan langsung dihadapan 250.000 orang. Suatu pernyataan bahwa Proklamasi Kemerdekaan bukan hanya tindakan segelintir elite, tetapi kehendak rakyat banyak. Sebuah penegasan, bahwa proklamasi bukan hadiah dari Jepang, tetapi harapan dan tekad rakyat Indonesia secara luas.
Dalam Peringatan Peristiwa Rapat Raksasa IKADA, 19 September 1945, selain akan dilakukan rekontruksi sejarah (reka ulang) di Monumen Nasional (Monas), Minggu, 16 September 2018, pukul 15.00 – 17.00 WIB, Forum Warga Betawi juga akan mengajukan Letkol Moeffreni Moe’min sebagai Pahlawan Nasional.
Sejarah mencatat, salah seorang yang berperan besar dalam rapat raksasa IKADA adalah Letkol Moeffreni Moe’min. Saat itu ia menjabat sebagai Ketua BKR Jakarta Raya 1945. Menurut Anwar Ali (Sejarawan), Moeffreni Moe’min adalah penggerak dan pengawal Presiden Sukarno saat rapat raksasa di lapangan Ikada (Monas) 19 September 1945.
Menyadari betapa pentingnya peran Moeffreni Moe’min, Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) pada 2017 lalu, mengusulkan Letkol Moeffreni Moe’min menjadi Pahlawan Nasional. Salah seorang penggagasnya ketika itu adalah Sekretaris Jenderal Lembaga Kebudayaan Betawi Ahmad Sarofi.
“Kita sudah roadshow dalam rangka usulkan pahlawan Betawi Letkol Moeffreni, yang punya peran besar dalam terlaksananya rapat raksasa Ikada. Kalau baca sejarah, rapat ini sangat penting. Proklamasi nggak banyak gaungnya, maka para pemuda menggagas memperkuat proklamasi dengan rapat Ikada,” ujar Ahmad Sarofi.
Peristiwa IKADA
Rapat Ikada 19 September 1945 adalah hari pembuktian kepada dunia internasional bahwa Indonesia sudah tegak berdiri dan siap dibela sampai tetes darah penghabisan. Dunia harus membuka mata bahwa rakyat dan pemimpin Indonesia punya satu tekad satu hasrat: Proklamasi adalah suatu point of no return.
Sejak pagi hari pada 19 September 1945, rakyat dari berbagai kawasan di sekitar Jakarta–Bekasi, Bogor, Banten, Depok, Karawang, Ciamis, Tasikmalaya, Cibarusah, Tanggerang–bergerak menuju lapangan Ikada. Terutama perguruan-perguruan pencak silat mengerahkan anggotanya. Mereka menjadi kekuatan andalan aksi massa terbesar dalam sejarah abad ke-20 di Indonesia itu.
Mereka tidak takut meski tempat acara dilaksanakan di dalam kepungan sedadu Jepang dengan senjata bersangkur dan tank-tank, serta ancaman tentara Sekutu yang mulai mendarat di Tanjung Priok. Suatu bukti Republik Indonesia yang masih orok itu sesungguhnya ditegakkan berdirinya oleh orang-orang kampung dan pesilat-pesilatnya.
Sukarno-Hatta dan beberapa anggota Kabinet RI pertama seperti J. Leimena, Ki Hadjar Dewantara, Ali Sastroamidjojo dijemput serta dikawal bermotor oleh Subianto Djojohadikusumo dan Daan Yahya. Sesampai di lapangan IKADA disambut oleh Ketua BKR (Badan Keamanan Rakyat) Moeffreni Moe’min yang membawanya sampai ke podium.
Tampak di rapat IKADA itu hadir juga Tan Malaka, kelompok Pemuda Menteng 31 (Chaerul Saleh, Sukarni, Adam Malik dll), Mahasiswa Prapatan 10 (Eri Sudewo, Sugiarto, dll), Barisan Pelopor pimpinan dr Muwardi, Barisan Banteng pimpinan Sudiro, Barisan Hisbullah pimpinan Harsono Tjokroaminoto, Laskar Djakarta pimpinan Imam Syafi’i, Laskar Klender pimpinan Haji Darip dan juga KH Noer Ali pimpinan Laskar Bekasi, Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) pimpinan Rapar, dll.
Tidak sampai lima menit Sukarno berpidato. Tetapi, itulah pidatonya yang paling menggetarkan di dalam sejarah perjuangannya. Sebab seperti dikatakan Chairil Anwar, saat itu Sukarno dan rakyat “sudah satu zat, satu darah, satu urat” sama dalam semangat: fortiter in re, berprinsip kuat untuk suatu perubahan total dan memulai pembaruan tanpa kompromi.
Salah satu orang yang paling bertanggungjawab dan memainkan peranan penting atas rapat itu adalah Moh. Moeffreni Moe’min. Saat itu ia sebagai ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal bakal Tentara Keamanan Rakyat (kini TNI). Ia bertanggung jawab keamanan seluruh acara, termasuk pengamanan ekstra terhadap Bung Karno dan Bung Hatta serta rombongan kabinet pertama kala datang ke rapat Ikada. Ia sampai mengantongi granat di kedua sakunya dan membawa pistol mendampingi selalu dwitunggal proklamator RI.
Mengenal Moeffreni Moe’min
Moeffreni lahir pada 12 Februari 1921 di Pandeglang, Banten dari keluarga berada. Ayahnya Mohammad Moe’min adalah mantan residen Jakarta yang berdarah Betawi. Pendidikannya ditempuh di sekolah Belanda pada berbagai tingkatan. Moeffreni pada masa perjuangan dikenal sebagai perwira menengah yang piawai berbahasa Inggris dan Belanda.
Dalam buku Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min, pada usia 17 tahun telah menekuni dunia jurnalistik sebagai wartawan. Ia pernah pernah jadi hoofd redacteur atau pemimpin redaksi (pemred) Majalah Pandu Jakarta terbitan Kepanduan Bangsa Indonesia.
Ketika Jepang berkuasa, Moeffreni ikut pelatihan Seinen Dojo atau Barisan Pemuda dan dilatih di Tangerang selama 6 bulan. Seteleh lulus, ia kembali masuk pendidikan perwira Pembela Tanah Air (PETA). Setelah lulus Moeffreni melanglang buana jadi instruktur PETA ke berbagai daerah. Meoffreni pernah menjadi instruktur Renseitai di Cimahi, hingga Redentai di Magelang yang juga berbarengan dengan Zulkifli Lubis, Sarwo Edhi dan Ahmad Yani. Berikutnya, ia jadi instruktur di berbagai tempat, pada 1944 Moeffreni menjabat di Daidan I PETA Jakarta dengan markas di Jaga Monyet.
Fase berikutnya, Moeffreni bergabung di Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal bakal Tentara Keamanan Rakyat (kini TNI). Lantaran, kecermelangannya dalam tugas, Moeffreni didaulat oleh Ketua BKR Pusat Kasman Singodimedjo, sebagai Ketua BKR Jakarta Raya. Ia jadi Panglima BKR Jakarta yang meliputi Jatinegara, Pasar Senen, Mangga Besar, Penjaringan dan Tanjung Priok. Dengan prestasinya ini, membuat Presiden Ir Soekarno untuk meminta Moeffreni melatih Barisan Pelopor.
Ketika peristiwa rapat raksasa IKADA, Moeffreni bertanggung jawab terhadap pengamanan Bung Karno dan Bung (Mohammad) Hatta kala menyambangi lautan manusia di rapat raksasa Lapangan IKADA. Moeffreni mengkoordinasikan pengamanannya dengan para Pemuda Menteng 31, Prapatan 10, kepolisian, Pemuda Kereta Api, Pemuda Pos dan Telekomunikasi, Barisan Pelopor, Laskar Jakarta, Laskar Klender, Pemuda Sulawesi, serta pemerintah daerah.
Pada Akhir 1945 sampai 1947 sebagai Komandan Resimen 5 (Jakarta Timur-Bekasi-Cikarang-Cibarusah-Karawang-Cikampek). Moeffreni pun jadi “palang pintu” Republik Indonesia di front Jakarta bagian timur.
Bobolnya front Cakung dan Bekasi berarti bobolnya kedaulatan RI. Dan Moeffreni dan prajuritnya mampu menjaga palang pintu itu. “Berbagai cara dilakukan pasukan Sekutu dan NICA, namun mereka hanya mampu membobol sampai Bulakkapal Bekasi. NICA baru mampu membobol pertahanan Bekasi sampai Karawang-Cikampek setelah resimen Moeffreni dipindahkan ke daerah lain,” ungkap Ali Anwar. (des)