JAKARTA, (Panjimas.com) — Ketua Komite III DPD RI, Fahira Idris mengingatkan para pemimpin dan pengambil kebijakan di negeri ini bahwa ketahanan Pancasila terus mendapat ujian. Namun, saat ini terjadi salah kaprah dalam mengidentifikasikan ancaman terhadap Pancasila, ditengah ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial.
Menurutnya, salah kaprah ini ditandai dengan getolnya kelompok tertentu yang melabeli kelompok lain yang berbeda pendapat sebagai kelompok radikal, tidak nasionalis, bahkan anti-pancasila.
“Padahal, ketimpangan ekonomi yang menganga dan ketidakadilan sosial yang semakin meruncing adalah ancaman nyata bagi Pancasila dan negeri ini. Tetapi anehnya ancaman nyata ini dianggap angin lalu. Jika di sebuah negeri terjadi ketimpangan luar biasa antara kaya dan miskin maka perbedaan sekecil apapun sangat berpotensi menjadi konflik dan perpecahan,” pungkas Fahira Idris di sela-sela Sosialisasi Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, Bhineka Tunggal Ika di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Jumat (14/09).
Fahira Idris menuturkan, sila keadilan sosial dalam Pancasila memerintah pemegang tampuk kekuasaan, siapapun itu, untuk mengangkat derajat orang miskin. Jika orang miskin tidak diangkat derajat dan kesejahteraannya maka pasti melahirkan ketidakstabilan di masyarakat dan ini menjadi ancaman serius bagi negeri ini.
“Contoh nyata saja, ketimpangan kepemilikan lahan karena penguasaan lahan oleh segelintir orang sudah melahirkan konflik agraria di banyak tempat. Semua ini terjadi karena ada ketidakadilan,” papar Anggota DPD RI DKI Jakarta yang kembali mencalonkan diri pada Pemilu 2019 mendatang.
Keadilan sosial, ujar Fahira, adalah akar persatuan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang akan kuat dan menumbuhkan pohon-pohon ketahanan bangsa jika dirasakan rakyat. Itulah kenapa Pancasila ditutup dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai ideologi dan falsafah negara, sudah sepatutnya segenap rakyat bangga akan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Walau membumikan nilai-nilai Pancasila masih terus menjadi upaya yang terus berproses, tetapi seluruh rakyat Indonesia sepenuhnya menyadari bahwa sejatinya Pancasila-lah yang mengikat hati individu-individu di negeri sehingga melihat perbedaan sebagai keniscayaan, bukan potensi konflik apalagi perpecahan, demikian menurut Fahira.[IZ]