JAKARTA, (Panjimas.com) – Dalam Pasal 59 dan 60 UU Jaminan Produk Halal (JPH) tetap sebagai pijakan utama bagi pelaksanaan sertifikasi halal yang ada di Indonesia dalam rangka memudahkan dunia usaha melakukan sertifikasi halal dan tetap tersedianya produk produk halal yang ada di masyarakat.
Demikian yang disampaikan oleh Ikhsan Abdullah selaku Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch saat diadakan Fokus Grup Discucition Indonesia Menuju Destinasi Halal Dunia di Jakarta.
Tepat 4 tahun sudah Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) diundangkan, akan tetapi masih belum dirasakan kehadirannya bagi masyarakat, UUJPH belum memiliki pengaruh yang signifikan bagi dunia industri dan pertumbuhan industri halal. Sejak diundangkan UU JPH pada 17 Oktober 2014 diharapkan dapat menjadi pemicu tumbuhnya industri halal, tetapi realitanya sangat jauh dari yg diharapkan.
“Industri halal Indonesia masih berjalan ditempat, jauh tertinggal dari Malaysia, Thailand, Singapore, Korea dan Taiwan. Pelaku usaha melihat industri halal belum sebagai peluang bisnis penting. Padahal di dalam era global saat ini, industri halal sedang menjadi trend global,” ujar Ikhsan pada Rabu, (12/9).
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) telah diresmikan pada 10 Oktober 2017 yang lalu, BPJPH belum dapat berfungsi sebagaimana yang di amanatkan UUJPH. Sampai saat ini BPJPH belum dapat menerima dan melayani permohonan sertifikasi halal dari dunia usaha, baik dari segi administrasi, tarif maupun sistemnya.
“Belum ada satupun LPH yang lahir dan mendapatkan akreditasi dari BPJPH dan MUI, karena syarat terbentuknya LPH harus terlebih dahulu memiliki minimal 2 orang auditor halal yang telah memperoleh sertifikasi dari MUI,” katanya.
BPJPH dan MUI belum dapat merumuskan standar akreditasi bagi LPH dan standarisasi untuk sertifikasi auditor halal, karena belum dilakukan perjanjian kerjasama (PKS BPJPH – MUI).
Persiapan memasuki masa wajib sertifikasi (mandatory) yang akan dimulai pada bulan Oktober 2019, maka sosialisasi dan edukasi UU JPH harus benar-benar massive dilakukan kepada dunia usaha dan masyarakat, guna menghindarkan akibat hukum bagi dunia usaha terkena sanksi Undang-Undang.
karena apabila sampai batas waktu mandathory Sertifikasi dan produk mereka belum bersertifikasi halal, maka akan terkena sanksi berupa denda maupun sanksi pidana sekaligus sebagaimana Pasal 56 dan 57 UU JPH.
“UU JPH sangat mendesak untuk diterapkan bagi produk asing / produk impor. UU JPH dapat dipergunakan sebagai ketentuan non tarif barrier atau proteksi bagi produk impor sehingga dapat membendung secara selektif masuknya produk impor ke dalam negeri, sekaligus menjadikan UUJPH sebagai instrumen bagi penguatan rupiah terhadap dollar,” tandasnya.
Agar dunia usaha tidak dirugikan dan tetap tersedianya produk halal di masyarakat dalam rangka melindungi kepentingan umat dengan belum berfungsinya BPJPH, maka ketentuan Pasal 59 dan Pasal 60 Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal harus menjadi landasan bagi sertifikasi halal, yakni MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi Halal sampai dengan BPJPH dibentuk.
Sehingga tidak lagi menimbulkan keraguan bagi dunia usaha yang akan mengajukan permohonan sertifikasi halal. Pemerintah harus segera mengamandemen pasal 65 UUJPH untuk dapat menerbitkan PP sebagai Peraturan Pelaksana.
“Karena jika PP diterbitkan tanpa mengamandemen pasal 65 maka pemerintah dapat di anggap melanggar ketentuan UU JPH. Semestinya Peraturan Pemerintah diterbitkan terlebih dahulu sebagai peraturan pelaksana UU JPH hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 63, 64 dan 67 UU JPH,” pungkasnya. [ES]