BERLIN, (Panjimas.com) — Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas baru-baru ini mengatakan dirinya dijadwalkan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov di Berlin pada Jumat (14/09) esok.
Pertemuan keduanya itu dalam rangka membahas cara-cara mencegah terjadinya bencana kemanusiaan di Provinsi Idlib, Suriah.
“Pada hari Jumat, menteri luar negeri Rusia akan berada di sini. Saya akan memberitahu dia dengan tepat hal-hal berikut; Kami mengharapkan Rusia memikul tanggung jawabnya untuk mencegah bencana kemanusiaan di Idlib, Suriah,” ujar Heiko Maas, Rabu (12/9), dikutip dari Anadolu.
Mass mengatakan, Jerman tetap akan melanjutkan bantuan kemanusiaannya kepada warga Suriah. Bahkan ia menegaskam, pihaknya juga siap memberikan dukungan atau bantuan untuk proses rekonstruksi Suriah. Namun syaratnya harus ada perubahan politik di Damaskus.
Juru bicara Kanselir Jerman Angela Merkel, Steffen Siebert, mengatakan gencatan senjata di Suriah hanya bisa dimungkinkan dengan dukungan aktif dari Rusia.
“Rusia dan Iran, sebagai pihak-pihak konflik, memikul tanggung jawab khusus,” ujarnya dalam konferensi pers di Berlin.
“Rusia memiliki pengaruh pada rezim Suriah, yang sangat penting untuk menghalangi eskalasi militer dan mencegah bencana kemanusiaan,” tandas Siebert.
Serangan Militer ke Idlib mulai dilancarkan pekan lalu. Idlib merupakan wilayah yang hendak direbut kembali oleh Assad dengan bantuan sekutunya, yakni Rusia dan Iran. Saat ini, Idlib masih dikuasai pasukan oposisi yang menentang pemerintahan Bashar al-Assad. Idlib menjadi satu-satunya wilayah yang masih berada di luar kontrol rezim Assad.
Operasi militer melalui serangan udara memaksa lebih dari 30.000 warga Idlib mengungsi ke desa-desa di dekat perbatasan Turki. Mereka kini hidup di tenda-tenda darurat dan permukiman darurat.
Sebelumnya, PBB telah memperingatkan, serangan ke Idlib, yang dihuni 2,9 juta orang, hal ini berpotensi menciptakan keadaan darurat kemanusiaan dalam skala besar yang belum terlihat sebelumnya.
Jumlah warga Idlib yang membutuhkan bantuan, yang saat ini sudah cukup tinggi, akan melonjak tajam. Sementara itu, 800.000 orang diperkirakan dapat mengungsi bila serangan besar-besaran terjadi di sana.
Jet tempur Rusia pada 4 September lalu menyerang sasaran sipil dan basis oposisi di Idlib.
Terletak di dekat perbatasan Turki, Idlib adalah rumah bagi lebih dari 3 juta warga Suriah, banyak di antaranya melarikan diri dari kota-kota lain setelah serangan oleh pasukan rezim Assad.
Jumat pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan serangan ke Idlib adalah bentuk eskalasi perang Suriah. Departemen Luar Negeri AS telah memperingatkan bahwa Washington akan menanggapi dan merespons setiap serangan senjata kimia oleh Damaskus.
Isu penggunaan senjata kimia oleh Suriah memang telah disuarakan AS menyusul rencana serangan ke Idlib.
“Semua mata tertuju pada tindakan Assad, Rusia, dan Iran di Idlib #NoChemicalWeapons,” kicau Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley melalui akun Twitternya.
PBB telah memperingatkan, serangan ke Idlib, yang dihuni 2,9 juta orang, berpotensi menciptakan keadaan darurat kemanusiaan dalam skala yang belum terlihat sebelumnya.
Jumlah warga Idlib yang membutuhkan bantuan, saat ini sudah terlampau tinggi, dan akan melonjak tajam. Sementara itu, 800.000 orang diperkirakan terpaksa mengungsi apabila serangan besar-besaran dilancarkan disana.
Idlib sebagaimana dikethui kini merupakan wilayah yang dikendalikan oleh kelompok-kelompok bersenjata anti-rezim Assad, Idlib telah mengalami serangan udara hebat selama dua bulan terakhir, yang menyebabkan ratusan kematian dan korban luka, menurut sumber pertahanan sipil.
Wilayah Idlib berada dalam jaringan zona de-eskalasi yang disokong oleh Turki, Rusia, dan Iran – di mana tindakan agresi militer dilarang secara eksplisit.
Selama pembicaraan damai di ibukota Kazakhstan, Astana, tiga negara penjamin, Turki, Iran dan Rusia, sepakat untuk menetapkan zona de-eskalasi di Idlib dan di beberapa bagian Provinsi Aleppo, Latakia dan Hama.
Idlib, yang terletak di Suriah bagian Barat Laut di perbatasan Turki, menghadapi serangan hebat yang dilancarkan rezim Assad setelah perang berkecamuk yang dimulai pada tahun 2011.
Sejak Maret 2015, Idlib tidak lagi berada di bawah kendali rezim Assad dan didominasi oleh kelompok oposisi militer dan organisasi bersenjata anti-rezim Assad.
Sejak awal 2011, Suriah telah menjadi medan pertempuran, ketika rezim Assad menumpas aksi protes pro-demokrasi dengan keganasan tak terduga — aksi protes itu 2011 itu adalah bagian dari rentetan peristiwa pemberontakan “Musim Semi Arab” [Arab Spring].
Sejak saat itu, lebih dari seperempat juta orang telah tewas dan lebih dari 10 juta penduduk Suriah terpaksa mengungsi, menurut laporan PBB.
Sementara itu Lembaga Pusat Penelitian Kebijakan Suriah (Syrian Center for Policy Research, SCPR) menyebutkan bahwa total korban tewas akibat konflik lima tahun di Suriah telah mencapai angka lebih dari 470.000 jiwa.[IZ]