JAKARTA (Panjimas.com) – Ustadz Abdul Shomad (UAS )dan Kiayi Haji Tengku Zulkarnaen telah mengalami suatu tindakan diskriminasi Ras dan Etnis. Dengan adanya perbuatan menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan Ras dan Etnis sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU PDRE, mengingat keduanya dengan tempat tujuannya berbeda Ras dan Etnis.
Demikian dijelaskan Ahli Hukum Pidana – Ketua Umum HRS Center, DR. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H dalam siaran pers yang diterima Panjimas.
Menurut Abdul Chair, asas dan tujuan penghapusan diskriminasi Ras dan Etnis dilaksanakan berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Asas persamaan, kebebasan, keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal diselenggarakan dengan tetap memerhatikan nilai-nilai agama, sosial, budaya, dan hukum yang berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Oleh karenanya, ketika ada tindakan diskriminasi Ras dan Etnis, berupa perbuatan yang menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang, karena perbedaan Ras dan Etnis dengan memperlakukan pembedaan, pengecualian, atau pembatasan yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil atau politik, maka itu adalah perbuatan yang melawan hukum,” ungkap Abdul Chair.
Pelaku pelarangan melalui intimidasi dan pengancaman dengan kekerasan telah melakukan pembedaan, pengecualian, atau pembatasan terhadap ‘hak-hak sipil” dan “hak-hak politik”. Diantara “hak-hak sipil” yang dilanggar adalah kebebasan berpergian dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, berpikir, berperasaan, berekspresi dan mengeluarkan pendapat dengan bebas serta berkumpul dan berserikat dengan bebas dan damai.
“Diantara hak-hak politik yang dilanggar adalah ketiadaan mendapatkan rasa aman dan perlindungan dari negara terhadap kekerasan Ras dan Etnis khususnya “kekerasan psikis” baik disebabkan oleh aparatur pemerintah atau oleh perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi tertentu,” kata Abdul Chair.
Apa yang dialami oleh UAS maupun Kiayi Tengku, lanjut Abdul Chair, bukanlah tindak pidana terhadap yang ditujukan pada kepentingan individu/pribadi (individuale belangen) sebagai kepentingan hukum (rechtebelang) yang harus dilindungi. Sejatinya, perbuatan tersebut sudah mengarah kepada kepentingan hukum masyarakat (sosiale belangen).
Menurut Abdul Chair, bagi pelaku pada keduanya, terdapat pula perbuatan yang mengarah kepada “delik agama” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 156 KUHP. Dikatakan demikian, oleh karena, adanya unsur “permusuhan”, “kebencian” atau “penghinaan” yang ditujukan kepada penduduk yang salah satu pembedaannya berdasarkan “agama”.
Pasal 156 KUHP ditempatkan dalam ruang lingkup Bab V tentang “Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum”. Aturan-aturan dalam bab ini juga dikenal dengan “haatzai artikelen” atau pasal-pasal “penyebar kebencian”. Ketika ditempatkan dalam Bab “Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum”, maka pada dasarnya pelarangan atas perbuatan tersebut karena sangat berpotensi menggangu Ketertiban Umum.
Abdul Chair berharap, sudah sepatutnya, pihak Kepolisian setempat segera mengambil langkah-langkah justitia secara pro aktif yang menjamin keselamatan atas diri UAS dalam kepentingannya memenuhi undangan dalam rangka dakwah agama. Aparat polisi juga harus menindak para pelaku pelarangan yang disertai ancaman kekerasan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Semoga, kejadian tersebut tidak terulang lagi dimasa yang akan datang.(des)