JAKARTA (Panjimas.com) — Ustaz Abdul Somad (UAS) sebagaimana diberitakan di banyak media dilarang berceramah soal politik. Anehnya, pelarangan tersebut justru dikeluarkan oleh Kepolisian Resor Tanggerang Selatan. Pihak Kepolisian setempat memberi catatan agar ceramahnya tidak mengandung “unsur politik praktis” dan hanya “berfokus pada agama”
Sebelumnya, dikabarkan UAS juga memutuskan untuk membatalkan beberapa janji di berbagai daerah Pulau Jawa, disebabkan adanya ancaman, intimidasi, pembatalan dan lain-lain.
Sepakat dengan pernyataan UAS, bahwa umat sudah cerdas mampu menilai mana yang “benar” mana yang “salah”, mana yang “baik” mana yang “buruk” dan mana yang “pantas dan patut” mana yang “tidak pantas dan patut”.
“Dengan demikian, perihal pelarangan secara subjektif itu patut dipertanyakan kontekstualitasnya dalam hal kepantasan dan sekaligus dapat dipertanggungjawabkannya,” ungkap Ahli Hukum Pidana – Ketua Umum HRS Center, DR. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H dalam siaran pers yang diterima Panjimas.
Apa yang dialami oleh UAS sejatinya sama dengan yang dialami oleh Ulama yang lain, seperti yang dialami oleh Kiayi Tengku Zulkarnain (MUI) oleh sekelompok orang di Bandara Susilo Sintang, Kalimatan Barat tahun lalu, dengan menghunuskan mandau (golok), dan menyerbu saat yang bersangkutan muncul di depan pintu, dan bahkan golok itu telah sampai di depan kakinya. (Tempo.co, Jumat, 13 Januari 2017).
Diketahui, bahwa kedatangan Kiayi Tengku ke Kabupaten tersebut justru untuk memenuhi undangan Bupati Sintang dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Jadi antara keduanya, sama-sama dalam kepentingan dakwah sesaui tuntutan agama dan berdasarkan undangan pihak yang mengundang.
“Tentu menjadi pertanyaan serius dengan kekuatan dasar hukum apa pihak Kepolisian Resor Tanggerang Selatan melarang berceramah soal politik, apakah memang ada larangan dalam hukum positif kita? Jika tidak ada, maka pihak yang melarang telah melakukan “ultra vires” suatu tindakan di luar batas kewenangannya dan bahkan “abuse of power” yakni tindakan penyalahgunaan wewenang,” tanya Abdul Chair.
Menurut Abdul Chair, dapat dikatakan bahwa keduanya telah mengalami pengancaman dan intimidasi yang serius. Hukum pidana Indonesia, merumuskan “intimidasi” pada umumnya dimaksudkan sebagai “ancaman dengan kekerasan”. Pelaku ancaman kekerasan terhadap UAS maupun Kiayi Tengku, dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana Pasal 175 KUHP dalam hal kekerasan atau dengan ancaman kekerasan merintangi seseorang dalam pertemuan umum dan kegiatan agama.
“Khusus perlakuan terhadap Kiayi Tengku sejatinya sudah mengarah kepada tindak pidana percobaan (poging) pembunuhan berencana (Pasal 53 jo 340 KUHPidana) atau setidak-tidaknya percobaan penganiayaan (Pasal 53 jo 351 KUHPidana),” tandasnya.
Adapun yang dialami oleh UAS, apabila intimidasi – berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi – dilakukan melalui sistem informasi atau dokumen elektronik, maka kepada pelaku dapat dijerat dengan ketentuan Pasal 29 ayat (4) jo Pasal 45B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dengan ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
“Baik pelaku intimidasi kepada UAS dan Kiayi Tengku, juga dapat dikenakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis (UU PDRE),” jelas Abdul Chair. (des)