THE HAGUE, (Panjimas.com) — Pengadilan Pidana Internasional (ICC) Kamis (06/09) menyatakan bahwa pihaknya memiliki yurisdiksi untuk menyelidiki kejahatan terhadap Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar.
“Pengadilan memiliki yurisdiksi atas kejahatan terhadap kemanusiaan deportasi yang diduga dilakukan terhadap anggota masyarakat Rohingya,” ujar perwakilan ICC yang bermarkas di Den Haag, Belanda itu dalam sebuah pernyataan, dilansir dari Anadolu Ajansi.
“Alasannya adalah unsur kejahatan ini – penyeberangan perbatasan – terjadi di wilayah negara peserta ICC [Bangladesh],” imbuhnya.
Pernyataan ICC itu mengatakan ” pihaknya boleh jadi melaksanakan yurisdiksinya berkaitan dengan kejahatan lain yang ditetapkan dalam pasal 5 Statuta [ICC Roma], seperti kejahatan terhadap kemanusiaan penganiayaan dan / atau tindakan tidak manusiawi lainnya.”
Pengadilan Pidana Internasional ini mendesak bahwa jaksa penuntut harus mengambil keputusan yang mengikat secara hukum, “ketika melanjutkan dengan pemeriksaan pendahuluannya mengenai kejahatan yang diduga dilakukan terhadap orang-orang Rohingya.”
Pengadilan ICC lebih lanjut menyatakan bahwa pemeriksaan awal harus disimpulkan dalam waktu yang wajar.
Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB baru-baru menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine. Dalam laporan itu, disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida. Laporan itu menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing, diadili secara hukum di Pengadilan Pidana Internasional (ICC).
TPF PBB tersebut menemukan bahwa pasukan bersenjata Myanmar telah mengambil tindakan yang “tidak diragukan lagi merupakan kejahatan yang paling berat di bawah hukum internasional”. Tim pencari fakta PBB didirikan oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada Maret 2017.
Laporan penyidik PBB itu mengatakan jenderal militer, termasuk Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing, harus menghadapi penyelidikan dan penuntutan untuk genosida di negara bagian Rakhine Utara. Mereka juga dituntut melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang lainnya di negara bagian Kachin, Shan, dan Rakhine.
PBB mendefinisikan genosida sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk menghancurkan kelompok nasional, etnis, ras atau agama secara keseluruhan atau sebagian.
“Kejahatan di Negara Bagian Rakhine, dan cara di mana mereka dilakukan, memiliki kesamaan sifat, gravitasi dan ruang lingkup bagi mereka yang telah memungkinkan niat genosida untuk didirikan dalam konteks lain,” demikian menurut Tim Misi Pencari Fakta Internasional Independen PBB di Myanmar, dilansir dari Reuters.
Dalam laporan dengan 20 halaman itu, disebutkan ada informasi yang cukup untuk menjamin penyelidikan dan penuntutan para pejabat senior dalam rantai komando Tatmadaw.
Laporan itu menyebutkan militer Myanmar, yang dikenal sebagai Tatmadaw dan juga badan keamanan Myanmar lainnya terlibat dalam pelanggaran.
“Militer tidak akan pernah membenarkan pembunuhan tanpa pandang bulu, para wanita yang diperkosa, menyerang anak-anak, dan membakar seluruh desa,” jelas laporan PBB itu.
Menurut laporan tersebut, taktik Tatmadaw secara konsisten dan tidak proporsional mengancam keamanan yang sebenarnya, terutama di Negara Bagian Rakhine dan di Myanmar Utara.
Setahun yang lalu, Militer Myanmar memimpin tindakan brutal di negara Rakhine Myanmar sebagai aksi balasan atas serangan oleh Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) di 30 pos polisi perbatasan Myanmar.
Pasca insiden tersebut, lebih dari 700.000 penduduk Rohingya terpaksa melarikan diri dari penindasan dan sebagian besar kini tinggal di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh. Laporan PBB mengatakan, tindakan Militer Myanmar termasuk membakar desa-desa Rohingya, dan ini sangat tidak proporsional terhadap ancaman keamanan yang sebenarnya.
Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi dan pembentukan tim Joint Working Group. Namun pelaksanaannya masih terkendala. Ternyata, banyak dari pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan pulang kembali ke Rakhine, karena takut akan penganiayaan dan penyerangan brutal Militer.
Para pengungsi Rohingya mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpa mereka pada Agustus tahun 2017 lalu. Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali.
Sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas minoritas Muslim, menurut Amnesty International.
Etnis Rohingya, digambarkan oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya dan tertindas di dunia, Mereka telah menghadapi ketakutan tinggi akibat serangan pasukan Myanmar dan para ektrimis Buddha.
Sedikitnya 9.000 Rohingya dibantai di negara bagian Rakhine mulai 25 Agustus hingga 24 September, demikian menurut laporan Doctors Without Borders [MSF].
Dalam laporan yang diterbitkan pada 12 Desember lalu, organisasi kemanusiaan global itu mengatakan bahwa kematian 71,7 persen atau 6.700 Muslim Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Diantara para korban jiwa itu, termasuk 730 anak di bawah usia 5 tahun.
Dilaporkan bahwa lebih dari 647.000 penduduk Rohingya terpaksa menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017 ketika Tentara Myanmar melancarkan tindakan brutal dan kejam terhadap Minoritas Muslim itu, sementara itu menurut angka PBB, jumlahnya adalah 656.000 jiwa.
Para pengungsi Rohingya tersebut melarikan diri dari operasi militer brutal Myanmar yang telah melihat pasukan militer dan massa ektrimis Budhdha membunuhi pria, wanita dan anak-anak, bahkan menjarah rumah-rumah dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.[IZ]