PARIS, (Panjimas.com) — Perancis menegaskan pihaknya bersiap untuk melakukan serangan militer menargetkan posisi rezim Assad jika mereka terbukti menggunakan senjata kimia digunakan dalam serangan pemerintah baru-baru ini untuk merebut kembali Provinsi Idlib, Suriah Utara, demikian menurut pejabat Militer Perancis, Kamis (06/09).
Terletak di dekat perbatasan Turki, Idlib merupakan rumah bagi lebih dari 3 juta penduduk Suriah, banyak di antaranya melarikan diri dari kota-kota lain setelah serangan oleh pasukan rezim Assad.
Rezim Bashar al-Assad baru-baru ini mengumumkan rencana untuk meluncurkan serangan militer besar-besaran ke Idlib, yang dikendalikan oleh berbagai kelompok oposisi bersenjata.
Pada hari Selasa (04/09), Kepala Kemanusiaan PBB Mark Lowcock memperingatkan bahwa serangan seperti itu akan mengarah pada “bencana kemanusiaan terburuk di abad ke-21”, dikutip dari Anadolu Ajansi.
Sementara itu, menurut Harian Prancis Le Figaro, Kepala Angkatan Bersenjata Francois Lecointre mengatakan kepada para wartawan bahwa dia mengharapkan posisi terakhir dari perlawanan Islamic State (IS) di Irak dan Suriah akan diberantas pada akhir November mendatang.
Jumat pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan serangan ke Idlib adalah bentuk eskalasi perang Suriah. Departemen Luar Negeri AS telah memperingatkan bahwa Washington akan menanggapi dan merespons setiap serangan senjata kimia oleh Damaskus.
Isu penggunaan senjata kimia oleh Suriah memang telah disuarakan AS menyusul rencana serangan ke Idlib.
“Semua mata tertuju pada tindakan Assad, Rusia, dan Iran di Idlib #NoChemicalWeapons,” kicau Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley melalui akun Twitternya.
PBB telah memperingatkan, serangan ke Idlib, yang dihuni 2,9 juta orang, berpotensi menciptakan keadaan darurat kemanusiaan dalam skala yang belum terlihat sebelumnya.
Jumlah warga Idlib yang membutuhkan bantuan, saat ini sudah terlampau tinggi, dan akan melonjak tajam. Sementara itu, 800.000 orang diperkirakan terpaksa mengungsi apabila serangan besar-besaran dilancarkan disana.
Idlib sebagaimana dikethui kini merupakan wilayah yang dikendalikan oleh kelompok-kelompok bersenjata anti-rezim Assad, Idlib telah mengalami serangan udara hebat selama dua bulan terakhir, yang menyebabkan ratusan kematian dan korban luka, menurut sumber pertahanan sipil.
Wilayah Idlib berada dalam jaringan zona de-eskalasi yang disokong oleh Turki, Rusia, dan Iran – di mana tindakan agresi militer dilarang secara eksplisit.
Selama pembicaraan damai di ibukota Kazakhstan, Astana, tiga negara penjamin, Turki, Iran dan Rusia, sepakat untuk menetapkan zona de-eskalasi di Idlib dan di beberapa bagian Provinsi Aleppo, Latakia dan Hama.
Idlib, yang terletak di Suriah bagian Barat Laut di perbatasan Turki, menghadapi serangan hebat yang dilancarkan rezim Assad setelah perang berkecamuk yang dimulai pada tahun 2011.
Sejak Maret 2015, Idlib tidak lagi berada di bawah kendali rezim Assad dan didominasi oleh kelompok oposisi militer dan organisasi bersenjata anti-rezim Assad.
Sejak awal 2011, Suriah telah menjadi medan pertempuran, ketika rezim Assad menumpas aksi protes pro-demokrasi dengan keganasan tak terduga — aksi protes itu 2011 itu adalah bagian dari rentetan peristiwa pemberontakan “Musim Semi Arab” [Arab Spring].
Sejak saat itu, lebih dari seperempat juta orang telah tewas dan lebih dari 10 juta penduduk Suriah terpaksa mengungsi, menurut laporan PBB.
Sementara itu Lembaga Pusat Penelitian Kebijakan Suriah (Syrian Center for Policy Research, SCPR) menyebutkan bahwa total korban tewas akibat konflik lima tahun di Suriah telah mencapai angka lebih dari 470.000 jiwa.[IZ]