JAKARTA (Panjimas.com) – “Semenjak tragedi WTC pada 11 September 2011 dengan segala konspirasinya yang menyudutkan umat Islam membuat citra agama Islam dan umat Islam menjadi tidak baik di mata dunia karena aksi terorisme yang muncul selalu dikaitkan dengan Islam.”
Itulah yang menjadi alasan dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Faisal Alhaq Harahap dan M Raditio Jati Utomo menggugat UU Terorisme. Ia keberatan motif terorisme dilekatkan atas ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
“Pemohon I maupun Pemohon II merupakan aktivis dan angota organisasi kemahasiswaan berbasiskan Islam yakni Himpunan Mahasiswa Islam dan Lembaga Dakwah Fakultas Hukum Universitas Indonesia,” kata penggugat sebagaimana dikutip dari website MK, Selasa (4/9/2018).
Faisal merupakan Wakil Sekretaris Umum bidang Hukum dan HAM HMI. Sedangkan Raditio merupakan Staf Hubungan Kemahasiswaan dan Alumni Lembaga Dakwah FH UI.
Kedua mahasiswa itu menyatakan dirinya dalam keseharian dan kedudukannya selalu berusaha membuat citra Islam menjadi baik kembali sebagaimana seharusnya.
“Dan UU a quo (UU Terorisme) justru semakin merusak citra Islam karena menciptakan stigma bahwa terorisme didasari motif ideologi politik yang notabene Islam,” ujarnya.
Mereka menggugat frase di Pasal 1 angka 2 yang berbunyi:
Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Mereka meminta agar definisi karet di pasal di atas dihapus. “Menyatakan frase ‘dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan’ tidak mempunyai hukum mengikat,” kata penggugat.
Kedua aktivis HMI itu menilai definisi frase di atas multitafsir. Karena sama saja mendefinisikan ‘mencuri makanan adalah perbuatan yang dilakukan dengan motif kelaparan’. Yang mana seseorang tidak akan dikatakan mencuri makanan apabila tidak memiliki motif kelaparan.
“Definisi ini tidak memberikan perlindungan hukum yang adil dalam melakukan perbuatan. Bisa saja terdapat motif lain yang bermacam-macam dan juga mustahil bagi aparat penegak hukum membuktikan motif seseorang melakukan sesuatu perbuatan, karena hanya orang tersebut yang mengetahui motifnya yang sebenarnya,” ujar keduanya dalam berkas gugatan. (des)