JAKARTA (Panjimas.com) – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyoroti demokrasi kebablasan di Indonesia saat ini dan pernah diungkapkan sejumlah pihak.
Demokrasi kebablasan karena korupsi di Indonesia ditempuh melalui proses demokrasi sehingga sistem yang salah itu disahkan oleh lembaga demokrasi, katanya dalam diskusi di Jakarta, Kamis.
“Misalnya Anda mau korupsi sesuatu, lewat DPR aja pesen, pesen pasal, pesen UU, di situ korupsi bisa dilakukan, ketika mau ditangani secara hukum, ini undang-undangnya sudah disetujui oleh DPR dan DPR itupun jual beli kan, untuk jadi anggota DPR, beli untuk ini dan sebagainya, inilah demokrasi kebabalasan,” katanya.
Mahfud mengatakan, istilah demokrasi kebablasan bukanlah dari dia, namun muncul dari diskusi yang pernah ia ikuti.
Ia pun mengutip mantan Menteri Rizal Ramli yang mengatakan demokrasi di Indonesia sebagai demokrasi kriminal.
Mahfud juga mengutip penelitian dari Australia, terjadi anomali demokrasi di Indonesia. Dalam teorinya, semakin demokratis sebuah negara maka korupsi semakin berkurang.
“Tapi hasil penelitian itu menyebutkan semakin demokrasi, semakin banyak korupsinya, berbeda dengan teori yang berlaku di dalam literaturnya, kenapa? Ya jawabannya itu di sini demokrasi diperjualbelikan,” katanya.
Ia pun menyampaikan pendapatnya sebagai mantan Ketua Mahkamah Konstitusi terkait fenomena demokrasi tersebut.
“Sebagai mantan Ketua MK tahu persis minimal yang sampai hari ini ada di penjara itu karena menjual pasal. Kamu mau pasal apa, membayar ke dia, sekarang ada delapan orang di penjara dari DPR, baru keluar satu. Jadi begitu maksudnya, jadi bukan dari saya (istilah demokrasi kebablasan),” katanya.
Sementara itu, mantan Anggota BPK Ali Masykur Musa menyampaikan, bila demokrasi tanpa etik (keadaban) maka yang terjadi adalah demokrasi yang dikendalikan oleh modal dan pasar. Akibatnya, demokrasi akan diperdagangkan.
“Dan ini kan menjadikan pertentangan masyarakat yang diakibatkan oleh demokrasi,” katanya. [AW/Antara]