JAKARTA (Panjimas.com) — Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Rahmat Bagja menilai tagar #2019GantiPresiden tidak termasuk kampanye negatif atau “black campaign” karena gerakan itu merupakan bagian dari kebebasan berekspresi warga.
“Ini it’s logic saja. Demokrasi secara logis, bukan black campaign. Kalau black campaign itu menyerang presiden secara pribadi. Kalau ganti presiden itu logis atau save presiden silakan. Itu kebebasan berekspresi,” tutur Bagja.
Wakil Ketua Dewan Kehormatan PAN Dradjad Wibowo sebelumnya menilai, tagar itu bukan sebuah kampanye karena tak ada keterlibatan partai politik dalam gerakan tersebut, termasuk mengampanyekan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
“Gerakan #2019gantipresiden itu kan gerakan dari masyarakat. Sudah muncul jauh sebelum pendaftaran pasangan capres-cawapres. Jadi buat apa diributkan?” kata Drajad.
Sementara itu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menilai gerakan politik dengan tagar #2019GantiPresiden sudah mulai berubah dari kampanye negatif menjadi sebuah kampanye hitam.
“Penggunaan tagar ini memang sangat provokatif. Sebagai sebuah kampanye negatif yang mulai berubah menjadi kampanye hitam. Meminjam istilah Prof Dr. Jimly Asshiddiqie, gerakan politik ini adalah ‘menyebar kebencian terhadap presiden yang masih menjabat’,” kata Sekjen PSI Raja Juli Antoni dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.
Toni mengaku prihatin dengan kericuhan yang terjadi di beberapa kota di Indonesia sebagai aksi dan reaksi terhadap gerakan politik tagar #2019GantiPresiden.
Menurutnya, aksi gerakan “menyebar kebencian terhadap presiden yang masih menjabat” itu sangat potensial menuai reaksi penolakan karena Presiden Jokowi merupakan presiden yang dicintai rakyat.
Dia menyarankan agar pegiat tagar #2019GantiPresiden memulai kampanye positif, misalkan dengan mengubah tagar menjadi #2019PrabowoPresiden atau #2019PASmenang dan lain sebagainya, yang lebih mendidik masyarakat. (des)