JAKARTA (Panjimas.com) — GNPF Ulama menggelar Ijtima’ Ulama dan Tokoh Nasional selama tiga hari (27-29 Juli 2018) di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, dengan tema Kepemimpinan Ulama bagi Kemaslahatan Bangsa dan Kejayaan NKRI.
Ketua Umum GNPF Ulama, Ustaz Yusuf Muhammad Martak saat membuka Ijtima’ Ulama dan Tokoh Nasional mengatakan, dalam mengelola kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, umat Islam memiliki pedoman hidup (way of life) bahkan life style. Namun sayangnya, pedoman hidup dan petunjuk kehidupan itu kerap diabaikan.
“Ibarat lentera ditengah kegelapan, sering kali kita menutupi cahaya lentera. Karena lentera itu ditempatkan di dalam kotak yang tertutup rapat, sehingga tak mampu melihat cahaya yang akan menuntun jalan yang haq. Kita pun sibuk dipermainkan oleh cahaya-cahaya palsu yang dipegang oleh pihak-pihak tertentu untuk menyesatkan jalan kehidupan umat Islam.”
Cahaya palsu tersebut, lanjut Ustaz Yusuf Martak, terdapat diseluruh sektor kehidupan kita saat ini, baik sistem keuangan berbasiskan riba dan hutang alias kapitalisme, sistem hukum yang berbasiskan suara terbanyak, sistem pemilihan pemimpin yang berbasiskan persepsi dan liberalis. Ulama sebagai warasathul anbiya telah ditempatkan sebatas pembaca do’a dan vote getter.
“Akibat dari kesalahan sistem dalam tata kelola kehidupan dunia Ini, kesenjangan kaya dan miskin semakin melebar hampir di semua kawasan dunia selama empat dekade terakhir,” ungkapnya prihatin.
Para ekonom mengatakan bahwa ketimpangan kemakmuran semakin ‘ekstrem’ di AS dan Rusia. Selama empat dekade terakhir berdasarkan data tahun 2014, dimana satu persen orang terkaya di AS menguasai sekitar 39 persen dari kekayaan negara itu. Laporan itu menyebutkan, sebagian besar peningkatan kemakmuran di AS berkaitan dengan kenaikan kekayaan 0,1 persen penduduk di lapis teratas.
Pada Januari lalu, World Economic Forum (WEF) mengindikasikan bahwa peningkatan ketimpangan pendapatan dan polarisasi masyarakat menjadi salah satu tren penting yang akan terbentuk di seluruh dunia pada dekade mendatang. Laporan risiko global WEF juga menyebutkan, bahwa semakin melebarnya kesenjangan antara orang kaya dan miskin menjadi salah satu penentu kemenangan pemilihan Presiden A. Donald Trump dan hasil voting Brexit di Inggris.
Merujuk laporan Global Wealth Report 2016 lembaga riset Credit Suisse, Indonesia berada di posisi keempat negara dengan tingkat kesenjangan tertinggi di dunia, berada dibawah Rusia, India dan Thailand. Di Indonesia, kekayaan per orang meningkat enam kali lipat selama periode 2000-2016. Namun menurut standar lnnmasional, kekayaan rata-rata orang di Indonesia masih rendah.
“Setengah aset kekayaan di Indonesia dikuasai hanya 1% orang terkaya. Kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin mencapai 49%, yang menempatkan Indonesia di posisi keempat negara dengan tingkat kesenjangan tertinggi di dunia,” tandas Ustadz Yusuf.
Defisit infrastruktur masih sangat besar. Bank Dunia memperkirakan ada defisit infrastruktur senilai 1,5 biliun us Dolar Berau. Indonesia dalam beberapa tahun ke depan tetap perlu pinjaman dari luar negeri senilai 500 miliar us dolar setiap tahun. Penerimaan pajak Indonesia sebagai pangsa PDB juga tetap menjadi salah satu yang paling rendah di kawasan Asia Tenggara. Menurut perkiraan OECD angkanya hanya 12 persen pada tahun 2015, lalu turun lagi menjadi hanya 10,3 persen.
Ustaz Yusuf Martak merasa heran, mengapa pemerintah yang sekarang mengatakan bahwa situasi ekonomi sekarang adalah warisan pemerintah sebelumnya, lalu apa artinya saat itu memberikan janji-janji pada kampanye sebagai jawaban atas amburadulnya perekonomian nasional.
“Tolong, tolong, jangan jadikan rakyat hanya sebagai objek dari kebijakan lembaga-lembaga multilateral yang berakibat kita menyalahkan orang lain, padahal kita sendiri yang melakukan kesalahan.” (des)