BEKASI (Panjimas.com) – Dalam acara Dauroh Syar’iyyah Seri ke-1, Pakar Syariah DR. Ahmad Zain An-Najah mengupas pembahasan tentang Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mulai dari penamaan hingga metode Ahlus Sunnah dalam memahami kebenaran. Hal pertama yang diterangkan Dr. Ahmad Zein An Najah ialah tentang sunnah.
Sebelumnya, DR. Ahmad Zain An-Najah menjelaskan, bahwa penamaan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu sejak jaman Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu ketika menafsirkan Qur’an Surat Ali ‘Imran ayat 106.
“Pada hari itu ada wajah yang putih berseri dan ada pula yang hitam. Ibnu Abbas menjelaskan, wajah yang putih berseri itu adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dan, adapun yang hitam pekat adalah ahlul bid’ah wal khurofat,” kata DR. Ahmad Zain An-Najah dalam acara Dauroh Syar’iyyah Seri ke-1, di gedung Nur Ali, Islamic Center Bekasi, Ahad (22/7).
Makna sunnah itu sendiri, menurut DR. Ahmad Zain An-Najah, ada tujuh. Makna sunnah yang pertama, yaitu lawan dari bid’ah.
Dan makna yang kedua dari sunnah adalah lawan dari Syi’ah. Maka, dapat dipastikan jika Ahlus Sunnah bukanlah Syiah.
Sedangkan makna yang ketiga dari sunnah ialah petunjuk. “Ikutilah sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin,” kata DR. Ahmad Zain An-Najah mengutip hadits riwayah Ibnu Majah.
Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu mengatakan, berdasarkan hadits tersebut sunnah terbagi menjadi dua, yaitu sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sunnah khulafaur rasyidin yang empat; Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Tholib radhiyallahu jami’an.
Adapun makna yang keempat ialah aqidah. “Kenapa? Karena, pada zaman dahulu ketika para ulama menulis buku tentang aqidah judulnya as-Sunnah. As-Sunnah ini bukan berarti buku hadits, tapi maksudnya buku aqidah,” terang DR. Ahmad Zain An-Najah.
Lebih lanjut, Penasehat Yayasan Madina itu menjelaskan makna kelima dari sunnah menurut ahli hadits ialah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, baik perkataan, perbuatan, baik lahir maupun bathin, baik itu dikerjakan langsung maupun ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
“Secara singkat, sunnah menurut pendapat ahli hadits ialah yang terdapat di buku-buku hadits, yaitu Kutubus Sittah,” tambah pria lulusan S3 Universitas Al Azhar Kairo itu.
Selain itu, dai yang aktif berdakwah dengan lisan dan tulisan tersebut menjelaskan, makna sunnah yang keenam menurut ahli fiqih.
“Sunnah adalah jika dikerjakan mendapat pahala dan jika tinggalkan tidak mendapat dosa. Contoh perbuatan sunnah, seperti sholat rawatib, puasa Senin-Kamis,” jelas Ustadz Ahmad Zain.
Adapun makna sunnah yang terakhir ialah menurut ushul fiqih, yaitu sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an. “Sumber hukum dalam Islam itu kan ada empat. Pertama, al-Qur’an. Kedua, as-Sunnah. Ketiga, al-Ijma’. Keempat, al-Qiyas,” sambung pria kelahiran Klaten itu.
Dengan demikian, Ahlus Sunnah menurut DR. Ahmad Zain An-Najah ialah orang yang menjadikan Sunnah sebagai sumber hukum dalam mengambil istinbat (berhukum) dan selalu berusaha mengerjakan yang Sunnah-sunnah dan bid’ah serta berusaha memegang aqidah yang shohihah, selalu mempelajari sirah nabawiyah dan selalu mengikuti petunjuk sahabat-sahabatnya dan bukan Syi’ah. [DP]