JAKARTA (Panjimas.com) – Sekretaris Bidang Dakwah Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia (PP DM) Ustaz Ahmad Yani menilai kesimpulan Penelitian Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) yang menyebut 41 persen masjid di kantor pemerintahan terindikasi sebar paham radikal, terlalu mentah.
“Kesimpulan itu terlalu mentah. Khutbah Jum’at setahun kok cuma diukur sebulan, khatib itu kan cuma 1-2 kali di suatu tempat dalam setahun. Lagipula, kriteria radikal itu juga apa? Kalau khatib tidak mengakui kebenaran agama lain itu bukan radikal,” kata Ustadz Ahmad Yani yang juga Ketua Ketua LPPD Khairu Ummah kepada Panjimas via WA.
Bahkan, lanjut Ustadz Ahmad Yani juga menyampaikan pernyataan Wakapolri yang juga pengurus PP DMI., yang membantah
kesimpulan penelitian itu. Ustaz Ahmad Yani berharap, Kementerian agama terus saja membina. “Khatib sudah tahu apa yang harus dilakukan. Pedoman dakwah juga sudah dibuat oleh MUI,” tukasnya.
Sebelumnya diberitakan, sebuah penelitian Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) yang bekerjasama dengan Rumah Kebangsaan pada kurun waktu 29 september – 21 oktober 2017, menyebutkan, sebanyak 41 dari 100 masjid dilingkungan pemerintahanan yang berada di Jakarta terindikasi disusupi paham radikal dalam materi khutbahnya.
Koodinator Survei sekaligus sekaligus peneliti dari P3M Agus Muhammad menuturkan ke 41 masjid tersebut terbagi dari 21 masjid dilingkungan BUMN, 8 masjid dilingkungan Lembaga Negara, serta 12 masjid dilingkungan Kementrian.
Dari jumlah tersebut sekitar 17 masjid dikategorikan terindikasi memberikan materi khutbah dengan tingkat radikal tinggi yakni ikit memprovokasi umat agar melakukan tindakan intoleran serta mengamini terbentuknya negara dengan sistem khilifah.
“Meskipun masjid-masjid tersebut membawa simbol negara, para takmir (pengurus) masjid dan penetuan khotib Jumat ditemukan mempunyai pandangan keagamaan yang cenderung ekstrim,” ujarnya di Gedung PBNU Pusat, Jakarta, Minggu (8/7) lalu.
Agus menuturkan dalam penelitian ini paham radikal yang dimaksud adalah paham yang menganggap satu kelompok paling benar dan kelompok lain salah, lalu mudah mengkafirkan orang lain, berpaham intoleransi, cenderung memaksakan keyakinan pada orang lain, dan menganggap demokrasi produk kafir serta membolehkan segala cara atas nama negara.
Namun dirinya menuturkan hasil survey tersebut masih merupakan indikasi dan belum sepenuhnya mencerminkan realitas yang sebenarnya. Sebab variabel yang diambil dalam penelitian ini hanyalah isi materi khutbah Jumat saja dan belum memasukan variabel terkait kegiatan yang dilakukan oleh masjid-masjid tersebut.
Meski demikian dirinya meminta agar pemerintah dapat menjadikan temuan tersebut sebagai evaluasi khusunya dalam menetukan SOP kegiatan masjid dilingkungannya.
“Bisa jadi masjid-masjid yang terindikasi radikal tersebut sesungguhnya moderat karena yangbdianalisis hamya khutbah Jumatnya. Memang perlu ada penelitian lanjutan tetapi kami harap pemerintah menjadikan hal ini sebagai antisipasi dalam mementukan SOP kegiatan di masjid-masjid yang ada dilingkungannya,” ujarnya.
Saat ditanya terkait letak pasti masjid-masjid tersebut ia masih enggan menjelaskan dengan alasan masih perlu adanya penelitian lanjutan. Ia pun beralasan hasil ini baru dipublikasikan saat ini dikarenakan menunggu situasi politik yang kondusif.
Penelitian tersebut dilakukan kepada 100 masjid yang berlokasi di Jakarta dengan sebaran 37 masjid di BUMN, 28 masjid di Lembaga Negara, serta 35 masjid di Kementrian. Adapun variabel yang diambil ialah materi khutbah Jumat dalam kurun waktu waktu 29 September – 21 Oktober 2017. (ass)