JAKARTA (Panjimas.com) – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nasir mengatakan, ada dua wilayah yang selalu bersentuhan dengan aspek silaturahim. Hal itu ialah nafsiologi (psikologi) dan sosiologis.
“Dalam konteks nafsiologi, hubungan kita dan orang lain itu selalu tekait dengan dimensi hawa nafsu, egoisme, qalb, pikiran, dan aspek nafsiologi ini tidak selalu mudah,” ujar Haedar Nashir di Auditorium KH. Ahmad Dahlan Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Jum’at (6/7).
Silaturahim, menurut Haedar, bukan sekadar kita menjalin hubungan yang sedang terjalin, tetapi mempertautkan sesuatu yang terputus, itu yang susah.
Padahal, berbagai motivasi diberikan terkait masalah silaturahim di dalam hadits. Bahkan, dilarang memutus hubungan karena bisa terhalang dari pintu surga. “Tapi prakteknya itu tidak selalu mudah,” tambah Haedar.
Orang kalau egois itu, kata Mantan Ketua PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah, memiliki keterkaitan dengan takabur, merasa benar, merasa paling baik, bahkan merasa suci.
“Benih-benih hawa nafsu egoisme-sentimen itu sering bersemi di dalam diri manusia ketika harus merekat kembali hubungan yang putus,” sambung Haedar.
Adapun wilayah sosiologis, Menurut Haedar Nashir, ialah hubungan-hubungan kepentingan. Manusia tidak akan lepas dengan kepentingan duniawi; harta, kekuasaan, rasa dibutuhkan orang, dan merasa hebat, itu termasuk urusan dunia.
“Kenapa disebut dunia? Karena, dia dekat dengan manusia,” terang Haedar.
Pria kelahiran Bandung itu menilai hubungan-hubungan sosiologis itu lebih rumit karena ada wilayah kepentingan.
“Misalnya ukhuwah dan teorinya lengkap, tetapi ketika ada kepentingan masing-masing ananiyah hizbiyah-nya muncul,” ungkap Haedar.
Haedar Nashir juga memberikan contoh tentang pendirian masjid yang dipermasalahkan oleh sesama umat Islam.
“Karena semangat ingin menunjukkan bahwa golongannya yang paling hebat keislamannya, paling besar sehingga muncul riya dan takabbur.” pungkas Haedar. [DP]