JAKARTA (Panjimas.com) – Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli menilai tindakan Menteri Keuangan, Sri Mulyani yang dinilai ikut andil merugikan negara dalam penjualan aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 2007 silam.
Rizal yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) serta mantan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) menilai rendah aset BPPN yang dijual oleh Sri Mulyani.
“Saya ingin menambahkan sedikit, memang ada kerugian negara tapi pada saat BPPN menyerahkan kepada menteri keuangan akhir tahun 2005 nilai aset BPPN itu Rp 4,8 triliun aneh bin ajaib pada tahun 2007 dijual hanya Rp 200 miliar oleh
Menteri Keuangan Sri Mulyani pada saat itu,” kata Rizal saat bersaksi untuk terdakwa dugaan korupsi SKL BLBI,
Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (5/7).
Kendati demikian, Rizal tidak mengetahui apa yang dilakukan Sri Mulyani kesalahan besar atau tidak dalam penjualan aset PT Dipasena yang telah dikembalikan ke BPPN. “Jadi ini jumlah kerugian yang jauh lebih besar saya nggak tahu apakah salah atau nggak salah, tetapi di dalam desicion making di BPPN, hal-hal strategis yang penting diputuskan oleh ketua KKSK yaitu Menko Ekonomi,” ucap Rizal.
Oleh karena itu, Rizal menilai aset BPPN senilai Rp 4,8 triliun yang dijual oleh Sri Mulyani merugian negara hingga Rp 4,6 triliun. “Jadi banyak sekali contoh-contoh kejahatan kerah putih di sini, yang harus pada waktunya kita buka sebagai pelajaran,” tukas Rizal.
Senada dengan Rizal, kuasa hukum terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT), yakni Yusril Ihza Mahendra juga pernah menyebut seharusnya Menteri Keuangan tahun 2007 dan PT PPA (PT Perusahaan Pengelolaan Aset) yang bertanggung jawab atas kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun.
Yusril beralasan, kliennya sudah menjalankan tugasnya dengan baik sebagai kepala Badan Perbankan Penyehatan Nasional (BPPN).Ia juga menyebut kliennya itu menjalankan segala tanggung jawabnya sesuai dengan keputusan dari Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada waktu itu.
Dalam kasus ini, Syafruddin didakwa merugikan negara Rp 4,5 triliun dalam penerbitan SKL BLBI. Juga memperkaya pemilik saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, melalui penerbitan SKL.
SKL itu dikeluarkan Syafruddin berdasarkan Inpres 8/2002 yang dikeluarkan pada 30 Desember 2002 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Syafrudin disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU 31/1999 sebagaimana diubah UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (ass/jawapos)