JAKARTA (Panjimas.com) – Jangan pernah ngarep atau berharap koruptor menjadi calon legislatif, karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi memberlakukan Peraturan KPU (PKPU) No 2 Tahun 2018 tentang aturan pelarangan mantan terpidana korupsi untuk maju dalam pemilihan legislatif tahun 2019. Padahal PKPU tersebut belum diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Hal tersebut ditandai dengan telah diunggah PKPU tersebut dalam laman resmi KPU RI, www.kpu.go.id. Dengan ditetapkannya Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018, maka ketentuan tentang larangan mantan napi koruptor mencalonkan diri menjadi anggota legislatif sudah bisa diterapkan. Aturan pelarangan tersebut tertera pada Pasal 7 Ayat 1 huruf h, berbunyi “Bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi”.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menegaskan dalam pertimbangan penetapan PKPU tersebut, pihaknya sudah menjalankan seluruh tahapan proses sesuai UU sehingga pihaknya merasa tidak ada masalah terkait penetapan aturan tersebut.
Menurutnya, PKPU masih bisa diubah melalui mekanisme uji materi di Mahkamah Agung bilamana ada pihak-pihak yang merasa tidak setuju akan adanya peraturan itu. “Jadi intinya KPU sudah menetapkan kemudian mempublikasikan PKPU tersebut. Peraturan KPU bukan sesuatu yang kemudian tidak bisa diapa-apakan, kalau mau mengubah atau meperbaiki itu caranya sudah diatur dalam aturan perundang-undangan. Siapapun boleh kalau tidak setuju dengan PKPU tersebut silakan ajukan yudisial review di MA,” ucapnya di Gedung KPU Jakarta, Minggu 1 Juli 2018.
PKPU, telah menjadi pedoman bagi para parpol yang nantinya akan mengusungkan para calon anggota legislatif dalam pendaftaran caleg mulai 4 Juli mendatang.
Begitupun dengan Komisioner KPU Hasyim Asy’ari yang menjelaskan dasar penetapan PKPU sah meski tak diundangkan oleh Kemenkumham. Hal tersebut mengacu kepada UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dirinya menjelaskan KPU sudah menjalani seluruh tahapan dan proses sesuai peraturan yang berlaku.
Untuk itu menurutnya sebuah peraturan perundang-undangan itu dapat dinyatakan sah sejak ditetapkan oleh yang membuat. Pasalnya, dalam konteks ini Kemenkumham hanya memiliki wewenang untuk mengundangkan peraturan tersebut yang sifatnya lebih ke publikasi agar masyarakat tau akan adanya peraturan tersebut.
“Bentuk pengesahan apa? Yaitu dengan ditandatangani PKPU. Ketua KPU tanda tangan. Jadi sejak tanggal itulah PKPU menjadi sah berlaku. Tujuan pengundangan itu untuk pemberitahuan kepada masyarakat bahwa ada peraturan yang sudah dibentuk,” ucapnya dalam kesempatan yang sama.
Sejak Penetapan PKPU Larangan Napi koruptor itu ditetapkan, beberapa pihak menolak tegas, seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan DPR yang tetap pada pendiriannya menolak aturan itu.
Komisioner Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo menilai penetapan PKPU itu sangat berbahaya, lantaran KPU sebagai penyelenggara pemilu melakukan pembatasan hak hak konstitusional warga negara.
“Aturan pembatasan hak konstitusional akan berbahaya lantaran dapat menjadi penyalahgunaan kewenangan. Sebab, konstitusi secara tegas hanya memberikan kewenangan pembatasan hak melalui UU. Sementara aturan larangan mantan napi korupsi nyaleg oleh KPU hanya melalui PKPU,” ungkapnya saat dihubungi wartawan.
Menurutnya, perlu langkah konkret untuk memastikan calon legislatif bersih bebas dari koruptor. Bawaslu, sambungnya, akan melakukan pendekatan dengan partai politik. (ass)