JAKARTA (Panjimas.com) – Khusus untuk akhir pekan ini, Sabtu, 30 Juni 2018, pukul 13.30 – 15.00 WIB, Wall of Frame Betawi menampilkan sohibul hikayat yang dibawakan oleh Yahya Andi Saputra, budayawan sekaligus pengurus Lembaga Kebudayaan Betawi, dengan tema Kampung Kita. Disini pengunjung dapat menyaksikan kesenian Betawi dan sohibul hikayat yang akan becerita tentang kampung di Betawi.
Apa itu sohibul hikayat? Sohibul hikayat adalah salah satu sastra lisan Betawi yang sumbernya dari Timur Tengah.
Sedang arti sohibul hikayat sendiri berasal dari bahasa Arab, berarti “yang empunya cerita”. Sohibul hikayat atau yang empunya cerita dipopulerkan oleh Zaid. Ia dikenal sebagai tukang cerita, meskipun ia menolak gelar itu.
Reputasinya melahirkan kata ngejaid yang punya makna sebagai tukang cerita. Generasi sebelum Zaid, dikenal tukang cerita yang bernama Djafar dan melahirkan kata ngejafar.
Dalam aksi panggungnya, Zaid biasa membuka dengan hal yang menyangkut moral, kemudian ceritanya mirip dakwah dan dilanjutkan dengan gaya bercerita yang lucu sampai selesai acara.
Dalam membawakan sohibul hikayat, Zaid, diawal cerita kerap memakai kata alkisah, kata hikayat, syahdan, dengan bahasa Indonesia gaya Jakarta. Sumber cerita yang dibawakan oleh sohibul hikayat di antaranya dari kisah-kisah Persia, seperti kisah seribu satu malam, Nurul laila, Alfu Lail wal lail.
“Sahdan, kata sohibul hikayat, seorang raja di negeri Sarkistania memiliki putri bernama Harsani. Kecantikannya kesohor ke seantero negeri. Harsani memiliki hidung mancung serundang. Lehernya panjang semarang dan putih, bila minum airnya terbayang. Rambut mayang terurai. Pipi bak pauh dilayang. Tidak heran banyak anak raja tergila-gila dan mencoba melamarnya. Sayangnya, lamaran itu selalu ditolak oleh raja dan permaisurinya.”
Salahsatu penerus Zaid adalah putranya yang bernama H. Ahmad Sofyan Jaid. Bagi masyarakat Betawi tempo dulu, Sofyan Jaid adalah sebuah nama yang identik dengan sohibul hikayat. Namanya demikian masyhur ke segala pelosok Jakarta dan sekitarnya. Tanya saja orang Betawi di Pasar Rebo, Klender, Tambun, Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang, apalagi mereka yang berdomisili di tengah kota. Hampir bisa dipastikan, tidak ada yang tidak kenal nama Sofyan Jaid sebagai tukang cerita atau sohibul hikayat.
Sohibul hikayat yang dibawakan oleh Sofyan Jaid, menjadi salah satu hiburan yang disenangi dan ditunggu-tunggu. Kemahiran pesohibul hikayat atau tukang cerita seperti Sofyan Jaid amatlah piawainya, sehingga cerita yang disampaikan menjadi begitu hidup dan nyata seolah-olah penonton dan pendengar merasa ada di dalam cerita itu.
Pada era 1970-an sampai awal 1980-an, ketika sohibul hikayat disiarkan secara langsung di radio siaran swasta seperti radio Parikesit, El-Gangga, dan Cendrawasih, (disiarkan mulai pukul 21.00 sampai 24.00 WIB atau jika bulan Ramadhan disiarkan sampai menjelang waktu sahur) itu menjadi mata acara yang sangat ditunggu.
Pendengar dengan senang hati begadang menunggu suara Sofyan Jaid yang lembut dan berat. Seru, tegang, kocak, dan bermacam suasana dibangun dalam sebuah cerita. Maka pendengar akan hafal cerita semacam Hayatun Nufus, Nurul Laila, Ma’ruf Tukang Sol Sepatu, Gambus 12, Ahmad Merebut Masjid, atau kisah-kisah lainnya. Bahkan sampi saat ini banyak yang masih ingat bagaimana rupa phisikal jin, cara bicaranya, cara jalannya, dan sebagainya atau bagaimana kecantikan seorang putri.
H. Ahmad Sofyan Jaid dilahirkan di kampung Tenabang, 3 Desember 1942. Ayahnya, H. Jaid, adalah pesohibul hikayat (tukang cerita) kesohor. Anak ke-4 dari 16 bersaudara ini awalnya tidak begitu tertarik dengan profesi ayahnya yaitu tukang cerita atau sohibul hikayat.
Sebagai bocah yang sering diajak ayahnya keliling untuk mentas, ia mengagumi kemahiran ayahnya dalam menuturkan sebuah hikayat. Terlalu seringnya mengikuti ayah, akhirnya ia tertarik dan mulai mencoba berhikayat meski di lingkungan terbatas. Ayahnya tentu melihat bakat Sofyan kecil. Seraya mengajak Sofyan berkeliling, tempo-tempo ayahnya menyuruhnya tampil membuka cerita. Mulailah Sofyan merasa asyik dengan membawakan sohibul hikayat.
Sepeninggal ayahnya pada akhir tahun 1969, Sofyan yang alumnus Madrasah Jamiat Kheir, Tanah Abang ini mulai menekuni profesi sohibul hikayat. Lelaki yang selalu tampil rapi dan necis ini menikah tahun 1962 dengan Siti Zubaedah dan telah dikaruniai 6 putri. Ia boleh dibilang seniman sohibul hikayat satu-satunya alias semata wayang yang dimiliki Betawi.
Dalam setiap kesempatan Sofyan selalu menghimbau generasi muda untuk mencoba menggeluti tradisi sohibul hikayat. Diakuinya bahwa sohibul hikayat pun tidak kalah kelasnya dengan kesenian lain, jika ditekuni secara total dan penuh kecintaan. Buktinya ia dapat menyekolahkan ke enam putrinya dari hasil bersohibul hikayat saja.
Tradisi bercerita bagi masyarakat Betawi telah dikenal sejak dulu kala. Apa yang disebut buleng dan juga ngerahul telah menjadi santapan sehari-hari. Buleng atau ngebuleng sebenarnya identik dengan sohibul hikayat. Bedanya cuma pada tema cerita. Jika sohibul hikayat mengambil tema cerita dari Timur Tengah atau Parsi, buleng mengambil tema lokal.
Tetapi buleng bernasib kurang baik dalam perkembangannya. Ia tiba-tiba hilang begitu saja tanpa ada generasi yang melanjutkannya. Sementara itu ngerahul dianggap hanya sebagai hiburan pengisi waktu luang yang tidak ada ujung pangkalnya dalam penyampaian cerita. Ngerahul tidak lain adalah ngerumpi.
Peran sohibul hikayat atau dalam hal ini H. Sofyan Jaid yang paling terasa adalah pewarisan nilai-nilai tradisi Betawi (agama, sopan-santun, saling mencintai, menghormati, dan sebagainya) dan penyebarluasan bahasa Betawi (ungkapan, pribasa kata, dan sebagainya). Simaklah jalan cerita yang dibawakan H. Sofyan Jaid, niscaya berhamburan apa yang disebut bahasa, ungkapan, dan pribahasa kata Betawi.
Agar tidak tergerus zaman, Sohibul Hikayat dan Ngebuleng mulai dilestarikan oleh generasi Betawi selanjutnya, seperti Yahya Andi Saputra dan Bang Suaeb Mahbub, budayawan Betawi dari Jakarta Utara. Bang Yahya akan menampilkan Sohibul Hikayat, dan Bang Suaeb Ngebuleng. (ass)