JAKARTA (Panjimas.com) – Kabar duka dari seniman dan karikaturis Gerardus Mayela Sudarta (GM Sudarta). Ia meninggal dunia hari ini, Sabtu (30//2018) sekitar pukul 08.25 WIB menurut harian Kompas melalui akun Twitternya.
“Telah meninggal dunia karikaturis Gerardus Mayela Sudarta (GM Sudarta), Sabtu (30/6/2018) pukul 8.25 WIB,” cuit pihak Kompas, yang menyiarkan karya-karya GM Sudarta. Jenazah dibawa ke Rumah Duka Sinar Kasih, Batu Tulis, Bogor.
Pada 2010, GM Sudarta dikabarkan sakit. Karikaturis asal Klaten itu menjalani operasi tulang pada kakinya setelah jatuh dari kamar mandi. Selain patah tulang kaki, pada tahun itu, Sudarta dikabarkan mengidap penyakit kronis yang menggerogoti tubuhnya, yakni hepatitis C. Dokter memvonis penyakit itu berjangkit di tubuhnya ketika Sudarta tengah menjadi dosen tamu di kampus Universitas Seika, Kyoto, Jepang.
G.M. Sudarta antara lain dikenal luas lewat karyanya Oom Pasikom, yang menghiasi harian umum Kompas setiap hari Minggu sejak 1967. Meski gambar kartunnya berisi kritik, tetapi tetap membuat penikmatnya tersenyum. Kemampuannya di bidang karikatur membawa Sudarta berulang kali dia menerima penghargaan.
Sekilas GM Sudharta
Gerardus Mayela Sudarta atau lebih dikenal dengan nama G.M. Sudarta, lahir di Desa Kauman, Klaten, Jawa Tengah, 20 September 1945, Meninggal 30 Juni 2018 pada umur 72 tahun. Ia putra bungsu dari pasangan Hardjowidjoyo dan Sumirah.
Namanya dikenal secara luas di kancah senirupa saat karya-karyanya menghiasi harian umum Kompas setiap hari Minggu. Meski gambar kartunya berisi kritik, namun tetap membuat penikmatnya tetap tersenyum. Kemampuannya di bidang karikatur membawa dirinya berulang kali dia menerima penghargaan.
Usai menamatkan SMA di Klaten, tahun 1965, ia meneruskan pendidikan ke ASRI Yogyakarta. Semasa kuliah, dia sempat menjadi kartunis di majalah Merah Putih, Jakarta (1966). Pada tahun yang sama, bekerja sama dengan Pramono mendesain diorama Monumen Nasional. Ia juga ikut andil dalam merancang pembangunan Monumen Pahlawan Revolusi Lubang Buaya. Sebagai karikaturis G.M. Sudarta peka menangkap berbagai fenomena sosial, ekonomi, politik, dan budaya di tanah air.
G.M. Sudarta mengawali kariernya sebagai pengisi kolom karikatur di harian Kompas edisi Minggu sejak 1967. Hingga kini, G.M. Sudarta telah melahirkan ribuan karya. Di kancah senirupa Indonesia, namanya diidentikkan dengan sosok Oom Pasikom, tokoh kartun yang kerap menyapa pembaca Kompas. Lewat Oom Pasikom, G.M. Sudarta mengemas isu-isu aktual yang terjadi di tanah air maupun manca negara.
Keluarga besar GM Sudharta, seperti diakuinya, separo Katolik dan separo Islam. Ayahnya Islam Kejawen atau kebatinan, sedangkan ibunya muslimah. Sejak kecil ia sudah bersyahadat, tapi ketika menjelang remaja ia sudah dibaptis. Ini karena pengaruh adik-adik ayah (paman) yang beragama Katolik.
“Saya sering ikut ke Gereja bersama mereka. Karena seringnya ke Gereja, saya pernah berujar, mendengarkan lagu Gregorian itu sama indahnya seperti mendengar Adzan,”kata GM Sudharta saat diwawancara semasa hidupnya.
Walaupun sudah dibaptis dan sering diajak ke Gereja, namun GM Sudharta seperti tidak beragama Kristen Katolik. Ia justru merasa akrab dengan agama Islam. Ibu dan saudara-saudara ibu, juga berasal dari keluarga muslim.
Ketika SMP, ia pernah menjadi Ketua Rating PII (Pelajar Islam Indonesia) di sekolah. Ketika SMA, terlbat dalam pendirian Teater Akbar bersama Deddy Soetomo. Kebetulan, anggotanya kebanyakan dari PII. Teater yang ia dirikan sering menjuarai Festival HSBI (Himpunan Seni Budaya Islam).
“Teater kami sering membawakan naskah-naskah karya Arifin C. Noer, salah satunya adalah naskah yang berjudul Amniah. Naskah ini sering kami pentaskan. Bahkan dalam Kongres PII, Teater Akbar menjadi juara pada festival seninya,” ujarnya ketika itu.
Selain aktif di dunia teater, Sudharta bergaul dengan teman-teman muslim. Dari sanalah ia mulai membaca buku tentang keagamaan. Selain itu, ia juga membaca buku-buku Tan Malaka dan sejenisnya, serta buku yang lebih bersifat eksistensialis. Ia selalu bertanya, sehingga makin berfikir untuk mencari sebab dan akibat kehidupan. “Saya hidup untuk apa ? Akhirnya saya terus berfikir untuk mencari tahu. “
Masuk Islam
Untuk menjawab itu, GM Sudharta sering pergi ke beberapa makan Sunan (Wali). Ia sering tidur di makam Syekh Maulana Yusuf di Banten, makam Sunan Kudus, bahkan sampai ke Gresik. Namun, pertanyaan itu makin gencar dalam hatinya.
Dari perjalanan mengunjungi makam para wali itu, ia pernah mengalami kejadian aneh. Di saat mengunjungi makam Syekh Maulana Yusuf di Banten, ia didatangi seorang Arab berbaju putih dan bersorban, dengan logat yang kaku ia berbicara tentang nabi Isa AS. Orangnya pintar sekali.
Selanjutnya orang itu menjabat tangannya, anehnya bau wanginya selama satu minggu tidak hilang, walaupun sering ia cuci. Dari situ Sudharta mencari orang itu sampai ke Kudus dan tempat lain, tapi tidak ketemu. Dari perjalan ziarah inilah, ia menemukan kedamaian dan ketenangan.
Dari apa yang telah dititipkan Tuhan padanya — sepasang anak kembar — ia kembali disadarkan oleh rasa keberagamaan saya. Aryo Damar, anaknya yang laki-laki, sejak berusia tiga bulan sampai sekarang, bila ada adzan Magrib di televisi, ia tidak mau melepaskan diri dari depan kaca televisi.
Kalaupun sedang menangis, ia berhenti dahulu untuk mendengarkan adzan. Kejadian ini ia rekam dan diabadikan dalam kaset video. Kelakuan anaknya ini semakin memperingatkan dan membuatnya yakin bahwa pegangan paling sederhana dan mempunyai kekuatan adalah Agama.
Akhirnya, Sudharta putuskan untuk menerima apa yang terjadi pada dirinya. Ia mengikrarkan diri menjadi seorang muslim. Perpindahannya menjadi seorang muslim ini disambut baik oleh teman-temannya dan mereka memberi beberapa buku agama, tafsir Al-Qur’an dan buku Fiqih Sunnah karya Sayid Sabiq lengkap 12 jilid. Bahkan yang aneh ada temannya yang memberikan Al-Qur’an jauh sebelum ia mengucapkan dua kalimah syahadat.
Namun, banyak pula teman-temannya yang menyatakan penyesalannya atas keputusannya masuk Islam. “Islam bagi saya adalah agama yang memiliki toleransi paling tinggi. Dengan Islam saya menjadi lebih mantap memastikan pegangan hidup. Kini saya banyak belajar dari istri untuk mendalami agama terutama belajar Al-Qur’an. Selain kepada teman-teman saya juga sering mendiskusikan dengan para tokoh agama . Hal ini saya maksudkan untuk memantapkan keimanan saya,” ungkapnya ketika itu. (ass/dbs)