DEPOK (Panjimas.com) – Pada sore hari Jum’at, 22 Juni 2018, salah seorang anggota Komunitas Sejarah Depok (KSD) mendapat informasi bahwa sedang ada yang menawarkan angin-angin antik kayu berukir ukuran 1.62 x 1.48 meter. Ia mengirimkan gambar angin-angin atau ventilasi di atas pintu antik yang juga disebut bovenlicht itu dan anggota grup KSD pun terkejut.
Bagaimana tidak sebab itu adalah angin-angin kamar anak kesayangan Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra (1761-1775) yang terdapat di situs sejarah Rumah Cimanggis. Demikian siaran pers yang diterima belum lama ini (25/6/2018).
“Sore hari itu juga kami membagi tugas untuk besok paginya 23 Juni 2018 sesegera mungkin menemukan orang yang menawarkan angin-angin situs sejarah Rumah Cimanggis dan memeriksa langsung ke situs sejarah yang dibangun pada 1775 itu untuk memastikan bahwa angin-angin itu memang benar dari situs sejarah Rumah Cimanggis,” ungkap Ferdy Jonathan, salahsatu anggota Komunitas Sejarah Depok (KSD).
Yang terakhir ini segera terkonfirmasi memang benar angin-angin yang berharga itu telah dicuri. Hampir bersamaan juga orang yang menawarkan angin-angin itu telah ditemukan dan mau dengan sukarela mengembalikan angin-angin yang didapatnya dari pelaku pengambilannya. Kami dari KSD sedang mengatur pengembaliannya dengan melibatkan LBH Jakarta agar sesuai aturan yang berlaku.
Sungguh mengenaskan angin-angin itu diambil dan dibawa keluar dari situs sejarah Rumah Cimanggis dengan cara digergaji menjadi potongan-potongan yang kemudian disambung kembali dengan lem kayu.
Dalam banyak kasus penghancuran bangunan situs bersejarah selalu dimulai dari pembiaran pencurian ornamennya, seperti jendela, pintu dengan kusen yang sangat berharga karena ketuaan dan keindahannya. Terutama adalah angin-angin yang di atas kusen pintu menjadi incaran karena ukiran yang sering merupakan lambang keluarga dan mengandung filosofi tertentu. Sebab itu dikerjakan dengan sangat bagus ukiran kayunya.
Angin-angin situs sejarah Rumah Cimanggis yang dicuri memang bukan yang lambang keluarga (heraldik), tetapi kualitas serta mewahnya setara dengan lambang keluarga karena merupakan menifestasi kecintaan Gubernur Jenderal van der Parra terhadap anak yang diangankan kelak menjadi pewaris utama kekayaannya.
Pencurian ini merupakan penanda yang sangat jelas bahwa situs sejarah Rumah Cimanggis terancam. Pengelola tanah di mana situs sejarah itu berdiri yaitu Kementerian Agama RI dan Pemerintah Kota Depok tidak memenuhi amanah UU Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya. Sebab tidak melakukan kewajiban mereka yang disebut di pasal 1 UU tersebut yaitu, melindungi melestarikan, menyelamatkan, mengamankan, dan memelihara situs sejarah.
Ironisnya adalah pencurian angin-angin situs sejarah Rumah Cimanggis itu terjadi tidak sampai 20 hari setelah Presiden Jokowi meletakkan batu pertama pembangunan kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) di Cimanggis, Depok, Jawa Barat pada 5 Juni 2018 yang dijalankan oleh Kemeterian Agama RI.
Sayangnya adalah proyek raksasa yang peresmiannya itu dihadiri nama-nama besar—Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Agama Lukman Hakim, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Mendikbud Muhadjir Effendy, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Wakapolri Komjen Syafruddin dan Wali Kota Depok Idris Abdul Somad—tidak menjamin situs sejarah Rumah Cimanggis dirawat serta aman dari ancaman dan atau gangguan apalagi sampai dibobol maling.
Kekuatiran kami dari KSD kini terbukti bahwa situs sejarah Rumah Cimanggis akan senasib dengan banyak bangunan bersejarah yang dibiarkan hancur dan dicuri ornamen-ornamen terpentingnya yang dengan demikian akhirnya dibongkar. Sebab dianggap sudah tidak bisa diselamatkan lagi sebagai situs sejarah mengingat banyak bagian pentingnya rusak dan lenyap.
Aksi-aksi KSD menghimbau penyelamatan situs sejarah Rumah Cimanggis yang sampai menjadi berita nasional karena menyulut perdebatan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla rupanya tidak menggerakkan kesadaran pemerintah pusat akan pentingnya situs sejarah di tengah proyek mereka. Padahal proyek universitas yang hendak dibangun itu sebagaimana juga situs sejarah sama-sama berfungsi sebagai medium pendidikan tentang peradaban.
Ketidakpedulian terhadap arti penting situs sejarah itu terlebih parah bukan hanya terasakan pada pemerintah pusat yang punya proyek di mana situs sejarah Rumah Cimanggis berdiri, tetapi juga pemerintah daerah yaitu Pemerintah Kota Depok.
Sudah terhitung tiga bulan berjalan Walikota Depok Idris Abdul Somad tidak mau juga menandatangani hasil rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) gabungan Jawa Barat dan Serang, Banten (Depok tidak punya TACB) agar menetapkan situs sejarah Rumah Cimanggis menjadi cagar budaya. Padahal tindakan ini jelas-jelas melanggar amanat UU Cagar Budaya. “Demikianlah siaran pers ini kami sampaikan bahwa dari situs sejarah Rumah Cimanggis abad 18 Depok terbukti UU cagar budaya gagal dilaksanakan, sebab diabaikan dan diremehkan oleh pemerintah,” kata Ferdy.
Akibatnya masyarakat mengalami kerugian kehilangan situs sejarah yang jelas-jelas disebut dalam pembukaan UU itu: “merupakan kekayaan budaya bangsa, sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”. (ass)