JAKARTA (Panjimas.com) – Dalam rangka hari Pancasila yang jatuh pada tanggal 1 Juni 2018 ini, menurut ustad Felix Siauw yang memiliki banyak jamaah dari kalangan anak anak muda dan aktivis kampus ini memiliki beberapa arti dan makna yang bisa dijadikan perhatian bagi kita sebagai anak bangsa.
“Saya rasa pendidikan keberagaman saya cukup lumayan. Saya cina dan istri saya jawa, anak-anak saya papan catur, perempuan putih, lelaki hitam, lelaki putih dan perempuan hitam. Bapak dan Ibu saya adalah Katolik, tapi saya sekeluarga adalah keluarga Muslim,” ujar Ustd Felix pada Jumat (1/6).
Di keluarga besar ustad Felix lebih berwarna lagi, Nenek ustd Felix itu Buddha, teman-temannya Kristen Protestan, ada juga yang atheis, banyak yang agnostik. Beliau pun pernah tinggal di Sumatra dan Jakarta, pulang kampung ke Jawa Tengah. Untuk hal ini ustad Felix Siauw lumayan khatam soal perbedaan yang ada pada keluarganya.
“Beragam jelas-jelas akan banyak beda, tapi nggak pernah jadi masalah di keluarga besar saya, kita nggak harus ngaku paling Pancasilais untuk saling memahami perbedaan, saling menghargai pendapat, terlepas beda apapun,” tuturnya.
Ibu Bapak beliau pun nggak pernah komplain kalau dirinya merusak persatuan keluarga apalagi negara, mereka nggak pernah nuduh bahwa dirinya suka mengkafirkan, apalagi membuat ketegangan antar umat beragama.
“Saya pun malah jadi lebih menghormati dan menyayangi mereka setelah mengenal Islam, sebab Islam itu agama yang keren, bisa mengubah kebencian saya pada orangtua menjadi cinta, agama ini agama kasih sayang,” katanya.
Islam bagi beliau justru terbaik dalam urusan toleransi, menjaga kerukunan, mempersatukan. “Lha, kita kira Pancasila itu dari mana? Ya dari Islam, sebab Pancasila nggak bakal bisa sempurna diartikan, kalau nggak pake Al-Qur’an,” tandasnya.
Tapi sekarang kita lihat, Pancasila ini lagi disandera oleh mereka yang ngakunya paling Pancasila, paling NKRI. Untuk apa? Ya untuk menyudutkan yang mereka nggak suka, dan dalam kasus yang sekarang, yang disudutkan itu Islam dan Muslim.
Mereka ini justru yang kita lihat beringas, nggak bisa menerima beda, nggak mau diajak diskusi apalagi musyawarah, bisanya hanya persekusi dan marah-marah, membuat ketegangan, memprovokasi, main hakim sendiri
Beda konsep dikit yang lain dituduh radikal, beda fiqih dikit lalu langsung dituduh ISIS dan wahabi, beda amalan dikit langsung dituduh Islam arab. Lha, siapa yang nggak bisa nerima perbedaan kalau seperti itu caranya.
“Lebih-lebih yang diharap menanamkan Pancasila, justru nggak peka. Gaji ratusan juta dianggap wajar, kerja keras banget katanya, sementara rakyat susah. Tenggang rasa, tepa selira, cuma teori, yang penting teriak, saya Pancasila,” pungkasnya. [AW/Edy]