SEMARANG (Panjimas.com) – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip), Prof Dr Suteki, SH, M.Hum, menyampaikan klarifikasi atas tudingan bahwa dirinya mendukung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Profesor Suteki dikabarkan dibebastugaskan sementara, lantaran tengah menjalani pemeriksaan di Dewan Kehormatan Kode Etik (DKKE). (Baca: Undip Bebastugaskan Sementara Guru Besar Hukum atas Dugaan Dukung HTI)
Dalam laman Facebook pribadinya, Profesor Suteki menegaskan bahwa dirinya bukanlah anggota HTI.
Benar bahwa Profesor Suteki pernah menjadi saksi ahli dalam sidang gugatan terhadap Perppu Ormas yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (2/10/2017). Ia juga pernah menjadi saksi ahli dalam sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur, terkait gugatan atas Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) tentang Pencabutan badan hukum perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), pada Kamis, (1/2/2018).
“Dalam hal ini, saya sampaikan tidak ada maksud lain kecuali karena karakter kepedulian saya terhadap hak-hak konstitusional warga negara sehingga saya bersedia menjadi ahli dalam sidang di MK dan PTUN. Aspek keilmuan ilmu hukum dan masyarakat yang mendominasi sikap saya tersebut. Tetap dalam koridor NKRI,” kata Profesor Suteki, sebagaimana dikutip dalam akun Facebook pribadinya, Suteki, Sh, Mhum, Dr, yang diposting, pada Jum’at (1/6/2018).
Adapun mengenai tuduhan terhadap dirinya yang mendukung paham khilafah yang diusung HTI, Profesor Suteki meluruskan, bahwa sistem kekhilafahan merupakan bagian dari ajaran Islam dan bukan ajaran HTI.
“Mendukung khilafah yang diusung oleh HTI. Dalam hal ini saya tetap punya prinsip bahwa khilafah itu bukan ajaran HTI tetapi bagian dari ajaran Islam. Para anggota DKKE berusaha untuk memahami klarifikasi saya dengan menunjukkan bukti-bukti buku yang sulit untuk disangkal kebenarannya. Soal di Indonesia tidak dan atau belum bisa dilaksanakan, itu persoalan lain karena kita hingga sekarang lebih memilih sistem pemerintahan demokrasi. Karena merupakan bagian dari ajaran Islam, maka sistem khilafah secara teoteris tidak bertentangan dengan Pancasila, karena memang keduanya tidak boleh begitu saja ditandingkan secara apple to apple. Tidak bertentangan itu bukan berarti bahwa khilafah kompatible langsung dengan keadaan di Indonesia. Jadi tidak boleh ada pemaksaan penerapan sistem khilafah dalam sistem pemerintahan di Indonesia,” ungkapnya dalam postingan yang sama.
Bahkan, dalam tulisannya yang bernada ‘guyon’ Profesor Suteki berjudul “Sumpah Pocong, Haruskah?” yang ia tujukan pada siapa saja yang menuduhnya sebagai anggota HTI, anti NKRI dan anti pancasila, sebagaimana diposting pada, Rabu (30/5/2018).
SUMPAH POCONG, haruskah?
#justkidding
by John Suteki
Kegiatan Besok Pagi:
Hari/tgl : Kamis/ 31 Mei 2018
Pukul : 10.00 WIB
Tempat : Ruang Senat Gedung SA-MWA Lantai 3 Kampus Undip Tembalang.
Acara : Klarifikasi dengan Dewan Kehormatan Kode Etik (DKKE) Senat Akademik Undip.
Terima kasih Pak Rektor dan Ketua Senat Akademik Undip yang telah memberikan panggung kepada saya untuk mengklarifikasi dugaan adanya pelanggaran KODE ETIK ASN oleh saya. Dugaan pelanggaran itu lebih ke arah indikasi antiPancasila dan antiNKRI lantaran tulisan-tulisan saya di FB dan kehadiran saya menjadi AHLI di PTUN dlm kasus gugatan pencabutan BADAN HUKUM HTI.
Akan saya klarifikasi bahwa:
(1) Saya bukan AntiPancasila (Riilnya 24 tahun saya mengajar Pancasila dan Filsafatnya);
(2) Saya juga bukan AntiNKRI (Riilnya saya tidak pernah makar, merongrong kedaulatan negara dgn gerakan atau mengangkat senjata, mengajarkan bagaimana rela berkorban dan membela kebenaran dan keadilan di bumi pertiwi Indonesia);
(3) Saya juga bukan anggota HTI dan belum pernah menjadi anggota HTI (Riilnya syarat untuk menjadi anggota HTI sangat ketat dan berat).
(4) Khilfah tetap saya yakini sbg bagian dari ajaran Islam (Riilnya baik sejarah maupun materi ajarnya tersebar dlm fikih syiyasah). Soal sistem pemerintahan ini tdk kompatibel dengan keadaan Indonesia sekarang, itu persoalan lain. Karena kita menyepakati memilih sistem pemerintahan demokrasi. Tidak boleh ada pemaksaan kehendak apalagi gerakan radikalisme.
Meski saya hadir dalam sidang MK dan PTUN Jakarta, terlalu prematur untuk men-judge bahwa saya adalah anggota HTI. Bukan. Kehadiran saya lebih dimaknai sebagai seorang ahli yg peduli terhadap penerapan Ilmu Hukum dan Masyarakat dan PANCASILA sebagai Ilmu Pengetahuan. Sebagai Ahli tentu tidak bisa diartikan sebagai pihak yang membela mati-matian melainkan bersikap adil juga kepada pihak lainnya. Ketika saya menjadi ahli, semua pihak secara fair boleh bertanya kepada ahli.
Pertanyaan yg muncul:
Apakah seorang advokat yg mendampingi proses hukum kasus korupsi itu berarti ia setuju dengan korupsi ataukah kita juga nyebut advokat itu seorang korupsi? Tidak bukan?
Nah, apalagi seorang profesor seperti saya ini yang menjadi ahli karena kepeduliannya atas penerapan ilmunya sendiri dlm kasus gugatan HTI lalu secara pematur di-judge sbg anggota HTI?
Oh, my God…!
My friendz, kira-kira hal itulah yang hendak saya terangkan ke khalayak ramai tentang WHO AM I?
Namun, akankah hal ini akan terjadi:
Kepada pecinta, cukup satu dalil atau dalih sudah mampu meyakinkannya, sedang…
Kepada pembenci, seribu dalil dan atau dalih tampaknya tidak cukup mampu meyakinkannya.
Haruskah aku sumpah pocong untuk meyakinkan orang? Lalu, siapa yg mau disumpah pocong?
Semoga tidak begitu adanya. Semoga Alloh memudahkan dan memberkahi ibadah dan muamalah kita. Aamiin.
Quote:
Honeste vivere (Jujur dalam hidupmu)
Alterum non laedere. (Tdk merugikan orang lain)
Suum cuique tribuere (Berbuat adil).
(Thomas Aquinas).
[AW]