GAZA, (Panjimas.com) – Kelompok hak asasi manusia internasional beberapa waktu lalu mendesak PBB agar memiliki perwakilan “permanen” [tetap] dalam aksi protes “Great March of Return” di sepanjang perbatasan Gaza-Israel, yang pada tahun ini setidaknya merenggut 41 nyawa warga Palestina akibat serangan brutal pasukan Israel.
Dalam pernyataannya, Euro-Mediterranean Human Rights Observatory Human Rights Monitor, Lembaga Pemantau Observatorium Hak Asasi Manusia Eropa-Mediterania yang berpusat di Swiss telah mengirimkan surat kepada Pelapor Khusus PBB untuk hak kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai, Nyaletsossi Voule, dikutip dari AA.
Surat EMOHR itu mendesak Misi PBB untuk memantau aksi protes rakyat Palestina di sepanjang perbatasan Timur Jalur Gaza, serta mendokumentasikan praktik-praktik brutal dan keji Israel terhadap para pengunjuk rasa.
Lembaga pemantau HAM Eropa-Mediterania itu menekankan bahwa aksi demonstrasi itu bersifat “damai”.
Lembaga pemantau yang berbasis di Swiss itu pun menuding Militer Israel menggunakan “kekuatan mematikan terhadap para demonstran yang tidak bersenjata”.
“Selama periode antara 30 Maret 2018 dan 20 April 2018, para penembak jitu Israel telah menewaskan 39 pengunjuk rasa, sebagian besar dari mereka adalah warga sipil yang tidak bersenjata, dan melukai 5.000 orang lainnya, termasuk wartawan. Para pengunjuk rasa ini tidak menimbulkan ancaman bagi kehidupan para tentara Israel,” ungkap pernyataan Euro-Mediterranean Human Rights Observatory Human Rights Monitor.
Selama Aksi protes Jumat (20/04), 4 warga Palestina – termasuk Mohammed Ibrahim Ayoub yang berusia 15 tahun – gugur menjadi martir oleh tembakan tentara Israel.
Setidaknya hingga 23 April, tercacat 41 warga Palestina gugur menjadi martir sementara ratusan korban lainnya terluka akibat tembakan Israel selama rentetan aksi demonstrasi anti-pendudukan di perbatasan Gaza sejak 30 Maret lalu.
Warga Palestina di Gaza mengadakan aksi demonstrasi selama 6 pekan di sepanjang perbatasan yang mencapai puncaknya pada tanggal 15 Mei mendatang. Hari itu akan menandai peringatan 70 tahun pendirian negara Israel – sebuah acara yang disebut oleh warga Palestina sebagai peristiwa “Nakba” atau “Malapetaka”.
Para pengunjuk rasa menuntut agar para pengungsi Palestina diizinkan mendapatkan hak-haknya untuk pulang kembali ke kota-kota dan desa-desa yang keluarga mereka diami saat terpaksa melarikan diri, atau diusir dari tanah miliknya, saat negara Yahudi Israel dideklarasikan pada tahun 1948.
Menanggapi banyaknya korban jiwa dan luka dalam Aksi “Great Return March”, Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyatakan hari Sabtu sebagai hari berkabung nasional atas kematian belasan warga Palestina, Jumat (30/03).
Sejak Jumat pagi, puluhan ribu warga Gaza berkumpul di perbatasan Timur Gaza sepanjang 45 kilometer yang berbasan dengan Israel untuk menegaskan kembali hak-hak mereka untuk pulang kembali ke rumah leluhur dan tanah air mereka di Palestina yang bersejarah.
Puluhan ribu warga Palestina di Jalur Gaza, Jumat (30/03) lalu berkumpul di wilayah perbatasan Timur Gaza dengan Israel, di mana mereka menggelar aksi unjuk rasa “Great Return March” [Gerakan Pulang Raya] dalam rangka menegaskan kembali hak-hak mereka untuk kembali pulang ke rumah leluhur dan tanah air mereka di Palestina yang bersejarah.
Aksi demonstrasi massal Jumat (30/03) itu juga dimaksudkan untuk menekan Israel agar segera mencabut blokade terhadap wilayah pesisir Gaza yang sudah berlangsung selama lebih dari satu dekade.
Aksi ini didukung oleh hampir semua faksi politik Palestina, yang telah berulang kali menekankan bahwa kegiatan ini merupakan aksi damai.
Para aktivis Palestina menggambarkan kamp-kamp dan tenda-tenda perkemahan itu sebagai “titik pementasan untuk kami kembali ke tanah air dari mana kami diusir pada 1948”, dikutip dari Anadolu.[IZ]