DEPOK (Panjimas.com) – Dalam rangka HUT Kota Depok ke 19, Pemkot Depok mengadakan “Sarasehan Sejarah Depok” di Balaikota Depok, belum lama ini (19 April 2018).
Di sesi pertama, hadir sebagai pembicara dalam diskusi: Siti Chaerijah Aurijah (Sejarah Depok dilihat dari Kearsipan Kota Depok), DR Hasan Djafar dari Universitas Indonesia (bicara tentang Sejarah Depok pra Sejarah), Edi Ken Film (Sejarah zaman Pajajaran), Boy Loen SE MBA MM (Sejarah Depok zaman kolonial).
Di sesi kedua, hadir DR Tri Wahyuning M, Dosen UI (Sejarah Depok perkotaan), Andi Yahya Saputra, budayawan Betawi (Sejarah Betawi Depok), dan DR Bondan K. MHum (Sejarah perkembangan Kota Depok).
Dalam makalahnya yang berjudul, Depok hingga Awal Abad 20: Dari Hak Eigendom ke Kecamatan, Tri Wahyuning M. Irsyam menjelaskan asal-usul kepemilikan Tanah Depok.
Dimasa kekuasaan VOC, wilayah di luar tembok kastil Batavia termasuk bagian yang dalam catatan arsip kolonial disebut sebagai Jakatrasche Bovenlanden (J. Faes, 1902). Pada 15 Oktober 1695 Lucas van der Meur, residen Cirebon, memperoleh sebidang tanah di wilayah selatan yang jauhnya kira-kira satu hari perjalanan (Hageman, 1960) dari Batavia.
Tanah tersebut terletak di antara sungai Ciliwung dan sungai Pasanggrahan. Tidak sampai setahun, tanah Depok (F, de Haan, 1910) yang terletak antara Batavia dan Buitenzorg itu pada 18 Mei 1696 dijual dengan harga 300 rijksdaalders, kepada Cornelis Chastelein, dengan status kepemilikan (eigendom verponding) No. 872. Chastelein dapat membeli tanah tersebut, karena ditopang oleh perkawinannya dengan putri anggota dewan, Cornelis van Quaelbergt (F. de Haan, 1919).
Setelah membeli tanah tersebut, Chastelein (1657-1714) lebih banyak tinggal di Batavia. Ia baru memberikan perhatian kepada tanah Depok ini pada tahun 1705 H. Blink, 1905). Ketika pindah ke Seringsing, Chastelein bukan hanya membawa keluarganya melainkan juga budak-budaknya.
Dari catatan yang dihimpun oleh Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, para budak yang dipindahkan ke Depok, berasal dari berbagai daerah di Indonesia, antara lain dari Bali, Sulawesi, dan Timor, yang jumlahnya sekitar 200 orang. Mereka adalah para budak yang dipekerjakan di tanah milik Cornelis Chastelein, di Nordwijk, dan Tugu (De Haan, 1919).
Pemindahan mereka ke Depok bertujuan untuk mengembangkan daerah Depok sebagai lahan percobaan perkebunan lada, yang bibitnya diperoleh dari Gubernur Jenderal Johannes Camphuijs. Tanaman lain yang juga dibudidaya-kan di kawasan ini adalah indigo, kakao, jeruk sitrun, nangka, sirsak, dan belimbing.
Para budak Cornelis Chastelein baik yang tinggal di Depok, maupun yang tinggal di kediamannya di Seringsing, hidup dan bekerja langsung di bawah pengawasan Chastelein. Untuk para budaknya, ia punya suatu rencana masa depan yaitu, pertama, memberikan perubahan status dari budak menjadi orang bebas yang menjadi pemeluk agama Kristen.
Kedua, memberikan bekal sebagai modal hidup mereka di kemudian hari dalam bentuk kepemilikan sebagian hartanya yang berupa tanah. Kedua prinsip tersebut kemudian dicantumkan dalam surat wasiatnya yang dibuat pada tanggal 13 Maret 1714.
Di akhir wasiatnya, Cornelis juga menuliskan bahwa satu copy surat wasiat ini diserahkan kepada Jarong van Bali, kepala pemerintahan yang diangkat oleh Cornelis Chastelein, untuk dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugasnya.
Ketika Cornelis Chastelein wafat pada 28 Juni 1714, para mantan budaknya sudah berstatus sebagai orang yang merdeka. Sesuai dengan apa yang tertera dalam surat wasiatnya, mereka kemudian menjadi pemilik sah dari tanah Depok.
Dari data yang dihimpun oleh Encyclopaedie van Nederlandsch Indie antara tahun 1696 sampai tahun 1713, kurang lebih 120 orang dari sekitar 200 budak yang diajari etika agama Kristen Protestan mau menerima Sakramen Pembaptisan dan sekaligus menerima pembebasan.
Setelah melakukan pembebasan atas budak-budaknya, Cornelis Chastelein kemudian mengajukan permohonan kepada pemerintah agar mereka bisa mendapatkan persetujuan untuk tetap memiliki tanah itu C. Chastelein, 1891). Namun, pada 24 Juli 1714 Raad van Indie memutuskan bahwa permohonan Cornelis Chastelein tidak dapat dikabulkan.
Alasan yang dikemukakan Raad van Indie, adalah karena ketentuan dalam surat wasiat ini bertentangan dengan Resolusi tanggal 29 Mei 1705 yang dibuat tentang harta warisan Jan Karel, 2007). Meskipun demikian, Dewan Hindia tidak sepenuhnya menolak permohonan Chastelein.
Dalam keputusan tertanggal 24 Juli 1714 itu disebutkan bahwa pemerintahan atas Depok dijalankan “bukan di bawah pemerintahan para mantan budak, melainkan di bawah pimpinan dan pemerintahan Koopman Anthony Chastelein, sebagai putra dan ahli waris almarhum Cornelis Chastelein.” (ass)