DEPOK (Panjimas.com) – Dalam “Sarasehan Sejarah Depok” di Balaikota Depok, belum lama ini (19 April 2018), Dosen Universitas Indonesia DR Tri Wahyuning M, Dosen UI memaparkan tentang Sejarah Depok perkotaan.
Di zaman kolonial, Tri Wahyuningsih menjelaskan, pembebasan para budak di Depok merupakan perwujudan dari cita-cita Cornelis Chastelein untuk mengembangkan kelompok penduduk asli yang beragama nasrani (Hendrik E. Niemeijer, 2012) dalam suatu perhimpunan Kristen, dan hidup di tanah miliknya. Lahan itu sekaligus dicitrakan sebagai pusat penyebaran agama Kristen untuk daerah sekitarnya.
Ketika Cornelis Chastelein wafat, Anthony Chastelein (puteranya) melanjutkan tugas untuk mengawasi umat Kristen Depok sesuai dengan ketentuan yang ada dalam surat wasiat. Tugas lain yang harus dilakukan Anthony Chastelein adalah mendaftarkan tanah milik ayahnya di Depok, atas nama mantan budak-budaknya yang berhak. Namun hal itu belum dapat dilaksanakan, karena pada bulan Februari 1715 ia wafat.
Sepeninggal Anthony, Anna Chastelein de Haan, janda Anthony, menikah dengan Johan Francois de Witte van Schoten, seorang anggota Raad van Justice, pada 1717. Sebagai ahli hukum, dan melalui perkawinannya dengan Anna de Haan, Johan Francois. de Witte van Schoten menafsirkan salah satu klausul yang terdapat dalam surat jawaban Raad van Indie terhadap permohonan Cornelis Chastelein.
Dalam penafsirannya, ia berpendapat bahwa para mantan budak Cornelis Chastelein beserta keturunannya, hanya mempunyai hak menggunakan tanah secara bebas untuk selamanya. Atas dasar itu, ia kemudian memohon kepada College van Schepenen di Batavia untuk memberikan surat-surat kepemilikan tanah Depok kepadanya. Permohonannya dikabulkan dan hingga abad ke-19, tanah Depok tercatat atas nama Johan Francois de Witte van Schoten.
Dalam perkembangan kemudian, hingga akhir abad ke-19, hak guna atas tanah Depok secara resmi terus berlaku, sampai akhirnya pada 1850, Raad van Indië mengumumkan secara resmi bahwa tanah Depok sebagai hak milik mantan budak Cornelis Chastelein. Pada 1871 Raad van Administratie dibantu oleh ahli-ahli hukum, Bijstand-Verleeners, di antaranya Mr. H. Kleyn membentuk badan pengurus yang dikenal dengan Het Gemeente Bestuur van Particuliere Land Depok (De Banier, 1914).
Meskipun bentuk pemerintahan di Depok, secara hukum dikenal sebagai Het Gemeente Bestuur van Particuliere Land Depok, namun istilah gemeente bestuur dalam kasus tanah partikelir Depok tidak dapat disejajarkan dengan istilah gemeente (kotapraja) yang baru dicanangkan pada awal abad ke-20. Istilah gemeente bestuur di tanah partikelir Depok merujuk pada suatu badan yang tugasnya mengurus kepentingan komunitas dari tanah partikelir itu (Reglement van het Land Depok)
Penanggungjawab gemeente, oleh warganya disebut presiden. Dengan demikian jabatan presiden dalam komunitas ini sebenarnya merupakan wakil dari para mantan budak yang mendapat warisan dari Cornelis Chastelein. “Presiden” Depok dipilih secara demokratis oleh anggota komunitasnya setiap tiga tahun sekali. Ia bukan tuan tanah melainkan koordinator pengurus (bestuur) dari gemeente.
Para mantan budak dan keluarganya kemudian tumbuh menjadi suatu komunitas tersendiri di Depok yang identitasnya ditentukan oleh statusnya sebagai umat Kristen, yang membedakannya dengan masyarakat lain di sekitar tempat tinggal mereka. Keberadaan mereka secara yuridis formal diperkuat oleh statusnya sebagai pemilik tanah, meskipun dalam hal ini mereka menguasai dan mengaturnya secara kolektif.
Jean Gelman Taylor, menyatakan bahwa pengakuan terhadap keanekaragaman tradisi dan perilaku manusia menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Batavia. Berbagai kelompok masyarakat secara sadar mengadopsi bahasa dan institusi perbudakan Asia. Sebaliknya, orang-orang Asia menggunakan nama, pakaian, kebiasaan, pekerjaan, dan agama yang sama dengan orang Eropa.
Aliansi-aliansi baru terbentuk diantara berbagai kelompok bukan berdasarkan pada sikap saling menghargai, namun lebih berdasarkan pada kesamaan dalam keterikatan pada agama dan kekuasaan.
Kondisi seperti itu juga terjadi di kalangan para mantan budak Cornelis Chastelein. Mereka kemudian menggunakan nama-nama seperti Jonathans, Laurens, Bacas, Loen, Sudira, Isakh, Samuel, Leander, Joseph, Tholense, Jacob, dan Zadokh sebagai nama keluarga.
Ada kemungkinan nama-nama itu di “ciptakan” oleh para mantan budak pada tahun 1871, setelah terbentuknya Het Gemeente Bestuur van Particuliere Land Depok secara resmi. Dugaan itu muncul karena hingga Cornelis Chastelein wafat, nama-nama tersebut belum ada. Cornelis Chastelein menyebut budak-budaknya dengan menggunakan nama asal daerahnya antara lain seperti Jan van Bali, Daniel van Makasar, Alexander van Makasar, dan Lambert van Bali. (ass)