JAKARTA (Panjimas.com) – Di hari Konsumen Nasional yang jatuh pada 20 April 2018 kemarin, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai Pemerintah gagal mengantisipasi fenomena “diskruptif ekonomi”, baik di sektor transportasi, telekomunikasi, belanja online atau bahkan sektor hotel dan restoran.
Sejak 2012, melalui Keppres No. 13 Tahun 2012, Pemerintah telah menetapkan bahwa 20 April sebagai “Hari Konsumen Nasional” (HKN). Dasar penetapan HKN pada 20 April adalah merujuk pada disahkannya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yakni pada 20 April 1999.
Dalam siaran persnya, Ketua YLKI Tulus Abadi menjelaskan, pada HKN 20 April 2018 YLKI mengeluarkan sembilan poin permasalahan konsumen di Indonesia, terutama dari perspektif ekonomi digital, yakni:
Konsumen adalah subyek terkuat dalam struktur ekonomi. Namun hak dan suaranya sering tidak didengar (diabaikan). Pemerintah getol mendorong pertumbuhan ekonomi digital, tapi pemerintah abai dalam memberikan rasa aman dan perlindungan pada konsumen.
“Pemerintah gagal mengantisipasi fenomena “diskruptif ekonomi” baik di sektor transportasi, telekomunikasi, belanja online atau bahkan sektor hotel dan restoran.”
Menurutnya, dgital ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat dan kreatif. Tapi di sisi lain ancaman terhadap konsumen dalam bertransaksi sangat besar.
YLKI mendorong pemerintah untuk mewujudkan regulasi yang adil di sektor ekonomi digital, yang berdimensi perlindungan konsumen. YLKI juga mendorong pelaku usaha yang bergerak di sektor digital ekonomi, untuk lebih beritikad baik dalam bertransaksi.
“Mendorong pelaku usaha ekonomi digital untuk membuat complaint handling mechanism yang lebih manusiawi dan aksesibel bagi konsumen. Juga meminta konsumen untuk lebih mengedepankan aspek kehati-hatian dalam melakukan transaksi digital. Transaksi ekonomi digital bisa menjadi ancaman serius bagi perlindungan data pribadi milik konsumen.” (ass)