WASHINGTON, (Panjimas.com) – PBB baru-baru ini untuk pertama kalinya memasukkan pasukan bersenjata Militer Myanmar ke dalam daftar hitam kelompok “yang diduga kuat” [kredibel] melakukan kekerasan seksual di daerah konflik bersenjata.
“Ancaman luas dan penggunaan kekerasan seksual merupakan bagian integral dari strategi [mereka], melayani untuk mempermalukan [melecehkan], meneror dan secara kolektif menghukum komunitas Rohingya sebagai alat yang diperhitungkan untuk memaksa mereka melarikan diri dari tanah air mereka dan mencegah pulangnya mereka,” tulisnya dalam sebuah laporan. mengenai Militer Myanmar, yang juga dikenal sebagai Tatmadaw.
“Kekerasan itu terkait dengan narasi hasutan yang menuduh bahwa tingkat kesuburan tinggi di kalangan komunitas muslim Rohingya merupakan ancaman eksistensial bagi mayoritas penduduk,” tulis laporan itu.
Sekelompok delegasi para diplomat tinggi Dewan Keamanan PBB akan melakukan perjalanan ke Bangladesh dan Myanmar bulan ini untuk melihat secara langsung situasi krisis pengungsi Muslim Rohingya.
Ke-15 Duta Besar Dewan Keamanan PBB akan melakukan perjalanan pada tanggal 26 April – 2 Mei mendatang.
Razia Sultana, pengacara dan advokat Rohingya, mengatakan kepada Dewan Keamanan di markas besar PBB New York, bahwa “penggunaan kekerasan seksual Militer Myanmar termasuk melibatkan ratusan tentara dan terjadi di sebagian besar Negara Bagian Rakhine”.
“Skala dan keluasan seperti itu memberikan bukti kuat bahwa pemerkosaan direncanakan secara sistematis dan digunakan sebagai senjata melawan orang-orang saya,” pungkanya, dilansir dari Anadolu Ajansi.
“Pola mutilasi bagian pribadi perempuan [Rohingya] setelah pemerkosaan menunjukkan arahan khusus untuk menanamkan teror di antara penduduk Rohingya tetapi juga untuk menghancurkan alat reproduksi mereka”, imbuhnya.
Sultana memohon kepada anggota Dewan Keamanan PBB untuk bertemu dengan para perempuan dan gadis Rohingya ketika mereka mengunjungi wilayah itu untuk memahami keparahan dan luasnya tragedi yang sedang terjadi.
Sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas minoritas Muslim, menurut Amnesty International.
Etnis Rohingya, digambarkan oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya dan tertindas di dunia, Mereka telah menghadapi ketakutan tinggi akibat serangan pasukan Myanmar dan para ektrimis Buddha.
Sedikitnya 9.000 Rohingya dibantai di negara bagian Rakhine mulai 25 Agustus hingga 24 September, demikian menurut laporan Doctors Without Borders [MSF].
Dalam laporan yang diterbitkan pada 12 Desember lalu, organisasi kemanusiaan global itu mengatakan bahwa kematian 71,7 persen atau 6.700 Muslim Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Diantara para korban jiwa itu, termasuk 730 anak di bawah usia 5 tahun.
Dilaporkan bahwa lebih dari 647.000 penduduk Rohingya terpaksa menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017 ketika Tentara Myanmar melancarkan tindakan brutal dan kejam terhadap Minoritas Muslim itu, sementara itu menurut angka PBB, jumlahnya adalah 656.000 jiwa.
Para pengungsi Rohingya tersebut melarikan diri dari operasi militer brutal Myanmar yang telah melihat pasukan militer dan massa ektrimis Budhdha membunuhi pria, wanita dan anak-anak, bahkan menjarah rumah-rumah dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.[IZ]