Jakarta (Panjimas.com) — Proyek infrastruktur Presiden Jokowi masih saja ada yang ambruk, meski sudah dievaluasi. Apakah ada sabotase di balik kasus ini atau hanya sekadar kelalaian kerja. Tapi kenapa kelalaian itu terus beruntun tanpa henti. Itulah yang dipertanyakan Ketua Presidium Ind Police Watch, Neta S Pane dalam siaran pers yang diterima Panjimas, Kamis (18/4/2018).
Dari pendataan Ind Police Watch (IPW), selama 9 bulan terakhir, yakni dari Agustus 2017 hingga 17 April 2018 ada 16 proyek infrastruktur Jokowi yang ambruk. Mulai dari beton cor yang ambruk, tiang penyanggah yang rubuh hingga girder yang jatuh.
Kasus ambruknya infrastruktur Jokowi ini sudah menewaskan 11 orang dan melukai 22 orang lainnya. Ironisnya, polisi terkesan kurang serius menangani kasus ini. Terbukti hingga kini belum ada satu pun dari 16 kasus ambruknya infrastruktur Jokowi itu yang dilimpahkan ke kejaksaan. Polisi hanya selalu mengatakan, sedang melakukan pendalaman, meski sudah menetapkan sejumlah tersangka.
Bisa jadi, sikap polisi yang kurang serius ini tidak menimbulkan efek jera dan kasus infrastruktur Jokowi yang ambrol terus berulang. Dimulai dari ambrolnya Proyek LRT di Palembang pada Agustus 2017 hingga ambruknya Proyek Tol Bitung pada 17 April 2018 yang menewaskan 2 orang.
IPW berharap polisi bekerja cepat dan serius menuntaskan kasus ambruknya 16 proyek infrastruktur Jokowi ini. Sehingga kasusnya bisa terungkap di pengadilan, apakah ada sabotase atau hanya faktor kelalaian. Dengan dituntaskannya kasus ini ada efek jera dan muncul kehati hatian dalam menyelesaikan proyek proyek itu secara profesional.
Bagaimana pun, ambrolnya 16 proyek infrastruktur Jokowi itu memunculkan 5 dampak negatif. Pertama, akan merusak citra Jokowi karena dianggap terlalu ambisius. Kedua, merugikan keuangan negara. Ketiga, kekhawatiran sabotase. Keempat, standar keamanan proyek itu seperti diabaikan. Kelima, memunculkan kekhawatiran masyarakat jika melintas di sekitar proyek tersebut.
Dalam menangani kasus ambrolnya 16 proyek infrastruktur Jokowi ini, polisi sebenarnya bisa mengenakan pasal berlapis. Bahkan bisa mengenakan UU No 22 tahun 2009 tentang lalulintas angkutan jalan yang menjerat tersangkanya dengan hukuman lima tahun penjara. Tapi sayangnya polisi masih masih bekerja lamban. (ass)