GAZA, (Panjimas.com) – Seorang warga Palestina lainnya gugur menjadi martir Jumat (13/04) lalu sehingga meningkatkan jumlah korban aksi protes massal Palestina menjadi 35 jiwa, yang merupakan upaya menentang pendudukan Israel yang berlangsung selama puluhan tahun di Jalur Gaza.
Ashraf al-Qidra, juru bicara Kementerian Kesehatan Palestina, menegaskan bahwa Islam Hazarallah, yang berusia 28 tahun, gugur menjadi martir akibat serangan pasukan zionis Israel.
Sejauh ini, 701 warga menderita luka-luka selama aksi demonstrasi massal di perbatasan Gaza ketika pasukan Israel menyerang menggunakan gas air mata dan menembakkan timah panas ke ribuan pengunjuk rasa Palestina.
Aksi unjuk rasa itu merupakan bagian dari rentetan aksi demonstrasi 6 pekan yang akan mencapai puncaknya pada tanggal 15 Mei mendatang.
Hari itu akan menandai peringatan 70 tahun pendirian negara Israel – sebuah acara yang disebut oleh warga Palestina sebagai peristiwa “Nakba” atau “Bencana”.
Para demonstran menuntut agar para pengungsi Palestina diizinkan mendapatkan hak-haknya untuk pulang kembali ke kota-kota dan desa-desa yang keluarga mereka diami saat terpaksa melarikan diri, atau diusir dari tanah miliknya, saat negara Yahudi Israel dideklarasikan pada tahun 1948.
Sejak Jumat pagi, puluhan ribu warga Gaza berkumpul di perbatasan Timur Gaza sepanjang 45 kilometer yang berbasan dengan Israel untuk menegaskan kembali hak-hak mereka untuk pulang kembali ke rumah leluhur dan tanah air mereka di Palestina yang bersejarah.
Puluhan ribu warga Palestina di Jalur Gaza, Jumat (30/03) lalu berkumpul di wilayah perbatasan Timur Gaza dengan Israel, di mana mereka menggelar aksi unjuk rasa “Great Return March” [Gerakan Pulang Raya] dalam rangka menegaskan kembali hak-hak mereka untuk kembali pulang ke rumah leluhur dan tanah air mereka di Palestina yang bersejarah.
Aksi demonstrasi massal Jumat (30/03) itu juga dimaksudkan untuk menekan Israel agar segera mencabut blokade terhadap wilayah pesisir Gaza yang sudah berlangsung selama lebih dari satu dekade.
Aksi ini didukung oleh hampir semua faksi politik Palestina, yang telah berulang kali menekankan bahwa kegiatan ini merupakan aksi damai.
Para aktivis Palestina menggambarkan kamp-kamp dan tenda-tenda perkemahan itu sebagai “titik pementasan untuk kami kembali ke tanah air dari mana kami diusir pada 1948”, dikutip dari Anadolu.[IZ]