ISTANBUL, (Panjimas.com) – Kelompok ‘think tank’ terkemuka Turki yang berbasis di ibukota Ankara awal bulan ini mengumumkan bahwa gelombang Islamophobia menyasar seluruh wilayah Eropa sepanjang tahun 2017.
Lembaga Kajian Politik, Ekonomi, dan Sosial yang berbasis di Ankara, Foundation for Political, Economic and Social Research (SETA) dalam laporan tahunannya yang dirilis Senin (02/04) mengevaluasi kejahatan anti-Muslim di Eropa berdasarkan laporan tiap negara-negara Eropa.
Menurut European Islamophobia Report 2017, gelombang Islamophobia meningkat tajam di Eropa.
Laporan European Islamophobia Report 2017 (EIR) mengungkapkan 908 kejahatan terhadap umat Islam, mulai dari serangan verbal dan fisik hingga upaya pembunuhan, dan serangan-serangan ini menargetkan Muslim di Jerman, serta 664 serangan di Polandia, 364 serangan di Belanda, 256 serangan di Austria, 121 serangan di Prancis, 56 serangan di Denmark, dan 36 serangan di Belgia, dilansir dari Anadolu Ajansi.
Serangan itu berkisar diantara serangan verbal dan fisik bahkan hingga upaya pembunuhan muslim.
Laporan EIR 2017 itu menjelaskan bahwa sebagian besar pemerintah Eropa, bagaimanapun, tidak menerapkan kebijakan khusus untuk melawan Islamophobia, dan hanya memasukkan mereka dalam subkategori “kejahatan kebencian” dalam statistik Kepolisian resmi bahwa itu hanyalah “tindakan kriminal bermotif politik”.
“Jika angka-angka ini cukup mencolok untuk membingungkan kami, mereka tidak bisa dibandingkan dengan keadaan nyata materi,” ungkap laporan EIR 2017 itu.
SETA menambahkan bahwa data dan statistik yang tersedia tentang Islamophobia di Eropa “hanyalah puncak dari gunung es”.
Laporan itu menunjukkan bahwa Muslim Eropa akan terus menghadapi kebijakan diskriminatif tanpa pengakuan resmi dan tak terbantahkan tentang Islamophobia sebagai jenis kejahatan rasisme tertentu.
SETA mendesak lembaga Uni Eropa untuk mengakui dan mengatasi Islamofobia secara politik sebagai “suatu bentuk rasisme” yang dapat menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia.
Laporan EIR itu menambahkan: “Pengakuan hukum dan politik Islamophobia adalah yang paling penting. Oleh karena itu, konferensi tingkat Eropa tentang Islamophobia harus diorganisir dengan dukungan setidaknya salah satu negara anggota Uni Eropa atau Parlemen Eropa.”
“Karena kekhawatiran akan pertimbangan politik, para politisi Eropa tidak siap untuk menangani masalah ini dengan serius,” pungkas Dr. Enes Bayrakli dari Lembaga Kajian Politik, Ekonomi, dan Sosial yang berbasis di Ankara, Foundation for Political, Economic and Social Research (SETA) di sela-sela konferensi intenasional mengenai Islamophobia selama 3 hari di Universitas Sabahattin Zaim di Istanbul, Turki.
“Saya tidak melihat dalam waktu dekat ini akan terjadi, tetapi hal itu harus terjadi,” ujar Bayrakli yang juga merupakan co-editor Laporan Tahunan Islamophobia di Eropa “European Islamophobia Report”, sejak tahun 2015.
“Parlemen Eropa dan Uni Eropa harus mengakui Islamophobia sebagai bentuk rasisme,” imbuhnya.
Bayrakli mengatakan bahwa peningkatan kebijakan dan serangan Islamofobia tampak jelas di Eropa terutama setelah awal perang sipil Suriah berkecamuk.
“Apa yang kita lihat adalah bahwa wacana sayap kanan sekarang mendominasi, sayangnya, di perpolitikan Eropa,” pungkas Bayrakli.
“Wacana sayap kanan [anti-Islam dan anti-Imigrasi] tentang umat Islam dinormalisasi,” imbuhnya.
“Meskipun kelompok sayap kanan tidak dominan dalam kekuasaan di sebagian besar negara-negara Eropa, wacana mereka sudah mengendalikan arus di banyak negara Eropa,” jelas Bayrakli.
Menurut Bayrakli, mayoritas politisi serta media-media dan elit-elit politik menolak gagasan Islamophobia.
“Menyangkal keberadaan masalah adalah bagian besar dari masalah,” tegas Bayrakli.
Bayrakli mengatakan bahwa pengakuan politik dan peradilan terhadap Islamophobia adalah sesuatu yang penting.
Bayrakli mengatakan bahwa Jerman baru-baru ini mulai mengkategorikan dan mencatat serangan-serangan Islamofobia sebagai kategori terpisah.
“Mereka telah mencatat lebih dari 900 serangan dalam satu tahun. Sekitar 100 masjid telah diserang di Jerman dalam satu tahun. Setiap 3 hari, 1 masjid telah diserang di Jerman. Itu cukup banyak,” pungkasnya.
“Dengan mempertimbangkan angka-angka ini, kami tidak melihat kemarahan media dan politisi. Mereka tetap diam saja tentang masalah ini karena dominasi wacana sayap kanan,” tandas Bayrakli.[IZ]