ISTANBUL, (Panjimas.com) – “Islamophobia mengubah hubungan antara warga dan negara,” demikian pernyataan seorang pakar dari Universitas Leeds, yang juga merupakan co-editor buku “Thinking Through Islamophobia: Global Perspectives”.
Salman Sayyid menuturkan, “”Kita perlu memiliki cara berpikir tentang bagaimana kita memahami fenomena Islamophobia”, dilansir dari Anadolu.
“Secara konseptual daripada hanya menjelaskan berbagai macam daftar-daftar sepanjang waktu, berdebat tentang definisi,” jelasnya.
Sayyid juga mengungkapkan bahwa untuk waktu yang lama orang berpikir bahwa Islamophobia hanya berarti penganiayaan terhadap minoritas Muslim.
“Karena itu, jika Anda bukan minoritas Muslim, Anda tidak terlalu peduli. Itu tidak memengaruhi apa pun, ” tandas Sayyid.
Hal ini disampaikan Salman Sayyid di Universitas Sabahattin Zaim Istanbul saat Konferensi Internasional Islamophobia yang bertajuk “Contextualizing Islamophobia: Its Impact on Culture and Global Politics” [“Mengkontekstualkan Islamophobia: Dampaknya pada Budaya dan Politik Global”]. Dalam konferensi internasional itu khusus dibahas mengenai strategi dan kebijakan untuk memerangi Islamophobia
Syaikh Mehmet Gormez, mantan Kepala Direktorat Urusan Agama Turki turut menyampaikan tentang peran para cendekiawan Muslim dalam memerangi Islamophobia.
“Apa yang kami lihat di Eropa dan Amerika Utara, tetapi saya akan mengatakan di seluruh dunia sekarang adalah Islamophobia dan ini menjadi sarana untuk mengubah hubungan antara warga dan pemerintah mereka,” imbuh Sayyid.
Menurut Sayyid, Islamophobia tidak lagi mempengaruhi kaum minoritas saja.
“Ini benar-benar mengubah cara negara berpikir tentang dirinya sendiri,” pungkasnya, Ia pun mengutip larangan visa perjalanan oleh Presiden AS Donald Trump terhadap Muslim.
“Apa yang telah dilakukan Trump adalah berdasarkan undang-undang yang telah diterapkan oleh [pendahulunya Barack] Obama,” jelasnya.
Sayyid mengatakan bahwa banyak orang melihat Islamophobia “lebih seperti jatuhnya topeng daripada kenyataan baru.”
“Aspek yang lebih mengkhawatirkan adalah Islamophobia tidak lagi terbatas di mana ada minoritas Muslim. Ini adalah wacana global, sebuah fenomena global,” pungkasnya.
“Jadi Anda memiliki negara-negara seperti misalnya Angola, di mana hampir tidak ada Muslim, yang mencoba untuk menutup masjid-masjid,” tambahnya.
Selain menampilkan para ulama dan cendekiawan dari seluruh dunia, konferensi ini juga berfokus mengenai isu Islamophobia pada budaya, masyarakat, politik, dan hubungan internasional.
Konferensi ini dimaksudkan untuk memacu diskusi tentang “strategi dan kebijakan yang perlu diadopsi dan dikejar untuk mengakhiri atau mengurangi efek berbahaya dan merugikan dari Islamophobia,” menurut laman web Universitas Sabahattin Zaim Istanbul.
Gelombang Islamophopia Eropa
Lembaga Kajian Politik, Ekonomi, dan Sosial yang berbasis di Ankara, Foundation for Political, Economic and Social Research (SETA) dalam laporan tahunannya yang dirilis Senin (02/04) mengevaluasi kejahatan anti-Muslim di Eropa berdasarkan laporan tiap negara-negara Eropa.
Menurut European Islamophobia Report 2017, gelombang Islamophobia meningkat tajam di Eropa.
Laporan European Islamophobia Report 2017 (EIR) mengungkapkan 908 kejahatan terhadap umat Islam, mulai dari serangan verbal dan fisik hingga upaya pembunuhan, dan serangan-serangan ini menargetkan Muslim di Jerman, serta 664 serangan di Polandia, 364 serangan di Belanda, 256 serangan di Austria, 121 serangan di Prancis, 56 serangan di Denmark, dan 36 serangan di Belgia, dilansir dari Anadolu Ajansi.
Serangan itu berkisar diantara serangan verbal dan fisik bahkan hingga upaya pembunuhan muslim.
Laporan EIR 2017 itu menjelaskan bahwa sebagian besar pemerintah Eropa, bagaimanapun, tidak menerapkan kebijakan khusus untuk melawan Islamophobia, dan hanya memasukkan mereka dalam subkategori “kejahatan kebencian” dalam statistik Kepolisian resmi bahwa itu hanyalah “tindakan kriminal bermotif politik”.
“Jika angka-angka ini cukup mencolok untuk membingungkan kami, mereka tidak bisa dibandingkan dengan keadaan nyata materi,” ungkap laporan EIR 2017 itu.
SETA menambahkan bahwa data dan statistik yang tersedia tentang Islamophobia di Eropa “hanyalah puncak dari gunung es”.
Laporan itu menunjukkan bahwa Muslim Eropa akan terus menghadapi kebijakan diskriminatif tanpa pengakuan resmi dan tak terbantahkan tentang Islamophobia sebagai jenis kejahatan rasisme tertentu.
SETA mendesak lembaga Uni Eropa untuk mengakui dan mengatasi Islamofobia secara politik sebagai “suatu bentuk rasisme” yang dapat menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia.
Laporan EIR itu menambahkan: “Pengakuan hukum dan politik Islamophobia adalah yang paling penting. Oleh karena itu, konferensi tingkat Eropa tentang Islamophobia harus diorganisir dengan dukungan setidaknya salah satu negara anggota Uni Eropa atau Parlemen Eropa.” [IZ]