JAKARTA, (Panjimas.com) – Menjelang Idul Fitri (lebaran) 2018 yang tinggal 60 hari lagi, proses penyelesaian ganti rugi rencana pembangunan jalan tol Batang-Semarang III belum menemui titik temu antara warga terdampak dengan Pemerintah yang diwakili oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Pengadilan Negeri (PN).
Sementara, proses penggusuran terinformasikan akan dilakukan pada tanggal 20-23 April 2018, hal ini membuat kebingungan dan keresahan bagi warga. Belum adanya kesepahaman ini, karena warga menilai pelaksanaan ganti rugi yang dilakukan oleh pemerintah mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan, demokratis dan adil. Proses pengadaan lahan dinilai memiliki kesalahan adminisratif yang cenderung merugikan warga.
Warga Desa Nolokerto Ahmad Hasan mengatakan meskipun warga sangat mendukung program pembangunan yang sedang dijalankan oleh pemerintah, namun pemerintah tidak menjalankan tahapan dalam proses pengadaan tanah, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang.
“Misalnya, soal penentuan kompensasi atas objek, BPN melakukannya sepihak tanpa proses musyawarah dengan warga. Hal ini tentu tidak sejalan dengan azas pengadaan dalam UU No. 2 Tahun 2012 yaitu asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan,” ujar Hasan di bilangan Jakarta Selatan, Jumat (14/4).
Selama ini, lanjutnya, warga sudah melakukan upaya dialog kepada kepada Kementerian ATR/BPR RI, Kementerian PUPR, Komisi V DPR RI, Deputi II Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Ombudsman, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan untuk menyampaikan persoalan yang mereka alami.
“Eksekutif cenderung pasif. Termasuk dari Deputi II KSP belum ada tindak lanjut. Ombudsman menduga terdapat maladministrasi. Dan dalam waktu dekat akan mengeluarkan rekomendasi kepada ATR Kendal dan Pengadilan Negeri untuk menghentikan proses pembangunan. Tetapi, sampai saat ini isu yang dihembuskan akan melakukan penggusuran,” keluhnya.
Ketua Cabang Serikat Petani Indonesia (SPI) Kendal Nurrokhim menuturkan warga berharap pemerintah jangan melakukan penggusuran dengan cara-cara pemaksaan. Masyarakat juga meminta pemerintah menjalankan proses sebagaimana yang telah diatur. Keputusan yang keluar berdasarkan kesepakatan antara pemerintah dan warga, bukan keputusan sepihak pemerintah saja.
Nurrokhim menjelaskan bahwa data nominatif ukuran tanah, bangunan, tanaman dan usaha tidak sesuai dengan kondisi dilapangan. Penilaian (appraisal) terhadap objek yang dilakukan oleh Badan Pertahanan Nasional (BPN) Kendal menggunakan data tahun 2008-2012. Sehingga, menimbulkan ketimpangan harga antara 428.000 per meter persegi dan 735.000 per meter persegi.
“Kondisi ini tentu saja tidak sejalan dengan prinsip yang dianut dalam UU No 2 Tahun 2012. Beberapa objek ganti rugi, seperti tanah dan bangunan serta tanaman dan nilai usaha, belum semua terhitung sesuai fakta dilapangan dan belum adil dalam penentuan nilai,” ungkapnya.
Proyek infrastruktur seringkali berfokus pada isu-isu teknis dan harapan terhadap hasil pembangunannya, namun mengabaikan dampak sosial dari pembangunan. Pembangunan jalan tol Batang – Semarang III telah mengabaikan prinsip universal dalam proses pengambilan tanah negara sebagajmana mandat UU Nomor 2 Tahun 2012.
“Terlebih, masyarakat tidak pernah mendapatkan berita acara terkait pengukuran tanah. Yang ekstrim, antar keluarga terjadi pertengkaran bahkan saling bunuh karena pembagian waris pembangunan jalan tol,” katanya. [ES]