Jakarta (Panjimas.com) – Dalam menjalankan profesi, wartawan Indonesia bekerja berlandaskan moral dan etika profesi yaitu Kode Etik Jurnalistik yang menjadi acuan para wartawan secara umum di Indonesia. Namun KEJ yang digagas pada 2004 memang belum sepenuhnya lengkap dan sempurna.
Terkait dengan anak, Pasal 5 KEJ hanya mencantumkan bahwa “wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”. Identitas yang dimaksud dalam Pasal 5 KEJ adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
Hal inilah yang menjadi pembahasan Dewan Pers bekerjasama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalan Diskusi Publik “Peliputan dan Pemberitaan MediaTentang Anak” di Hall Dewan Pers Jl. Kebon Sirih No. 32-34 Jakarta Pusat, hari ini, Kamis 12 April 2018.
Seperti diketahui, kebebasan pers adalah salah satu artefak gerakan reformasi yang nyata dan terawat baik hingga kini. Melalui UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers dinyatakan bahwa negara tak boleh lagi mengontrol, apalagi membredel pers.
Media dan pers diakui memiliki peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun, pada kenyataannya, pemberitaan tentang anak oleh sejumlah media kerap kurang mempertimbangkan kemungkinan si anak menjadi korban secara berulang-ulang. Anak yang telah menjadi korban kekerasan, bisa juga menjadi korban pemberitaan.
Dalam kasus berita anak pengidap HIV/AIDS, misalnya, si anak yang telah menjadi korban ketidaktahuan atau ketidakhati- hatian orang tuanya, setelah diberitakan, bisa juga menjadi korban stigma dan perlakuan buruk dari masyarakat sekitarnya.
Menurut Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, posisi anak yang berstatus sebagai saksi dan korban rentan terhadap teror dan intimidasi, tidak terlindungi oleh hukum dan terisolir dari masyarakat luas. Itulah sebabnya, ada banyak saksi maupun korban cenderung tidak mau bicara karena posisi publiknya justru dapat menempatkan dirinya sebagai korban untuk kedua kalinya karena pengungkapan peristiwa yang diberikannya dalam proses peradilan.
Dalam diskusi tersebut juga dibahas tentang bagaimana posisi wartawan dalam meliput sebuah kasus, apakah seorang wartawan akan mengabaikan posisi penting seorang anak untuk tidak diwawancarai ataukah wartawan memang harus menghormati dan melindungi posisi rawan seorang anak?
Lantas sejauh mana upaya yang boleh dilakukan wartawan dalam rangka memenuhi hak untuk tahu (right to know) masyarakat atas sebuah peristiwa dan kebenaran sebuah kejadian?
“Tujuan diskusi publik ini adalah untuk mendorong pemahaman jurnalis mengenai pentingnya perlindungan anak dalam peliputan, sekaligus mendiskusikan tentang perlunya penyusunan pedoman peliputan dan pemberitaan yang berperspektif ramah anak,” kata Yosep.
Juga menggali masukan dan perspektif jurnalis mengenai etika peliputan dan pemberitaan yang terkait perlindungan anak, baik sebagai saksi maupun korban kejahatan.
“Kode Etik Jurnalistik Pasal 5 mencantumkan bahwa “wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan,” ungkap Yosep. (ass)