JAKARTA, (Panjimas.com) – Berawal dari sebuah grup diskusi di berbagai kanal media sosial yang fokus membahas nilai-nilai sejarah yang pernah terjadi di Turki. Hal tersebut dimulai pada akhir tahun 2014. Era masa Kesultanan Ottoman (Utsmani) menjadi hal menarik untuk dibicarakan, selain menyoal posisi letak strategis yang berada di kawasan benua Asia – Eropa, kemudian peran serta dalam menjalankan roda kepemimpinan yang baik, keberpihakan pada masyarakat umum termasuk pada non muslim yang diberi jaminan perlindungan, terlebih keterkaitan antara Kesultanan Utsmani dengan masyarakat Nusantara saat itu.
Nusantara yang kini menjadi Indonesia pernah dijajah selama 350 tahun lamanya, dikungkung oleh pemerintahan penjajah saat itu, serta tak diizinikan untuk laksanakan syariat haji. Sejak saat itu hubungan antara Kesultanan Utsmani dengan masyarakat Nusantara semakin menguat. Terlebih ketika Sulthan Abdul Hamid Khan II berencana menghentikan hubungan perdagangan dengan pemerintahan Belanda, hal tersebut membuat masyarakat Indonesia kembali diizinkan untuk berhaji.
Beragam perubahan yang terjadi hingga abad ke 21, dari model Kesultanan hingga Republik. Dari berbagai pelarangan seperti menghapus bahasa Arab dari berbagai literatur dan bahasa sehari-hari, pengumandangan Adzan dengan bahasa Turki, serta pelarangan syariat Jilbab bagi muslimah hingga mendapat izin untuk difungsikan kembali.
Semua itu tak lepas dari peran para tokoh pembesar dunia seperti Bediuzzaman Said Nursi, Hasan al Banna hingga Agus Salim di Indonesia. Dari berbagai pengaruh para tokoh besar dunia itulah melahirkan beragam pemimpin di era Republik Turki seperti Adnan Menderes, Necmettin Erbakan hingga Recep Tayyip Erdogan. Melalui visi universal yang telah melekat pada masa Kesultanan Utsmani, sehingga mereka mampu jalankan roda demokrasi berkualitas dengan membawa Turki yang maju layaknya saat ini.
Dan tidak hanya itu, peran serta Turki dalam dunia kemanusiaan selalu tampil di garis terdepan, bagaimana keberpihakannya pada masyarakat Palestina, Suriah, Mesir hingga Rohingnya.
Berbagai hal diatas yang melatar belakangi terbentuknya Komunitas Sahabat Erdogan. Muhammad Fiqruddin Satyo sebagai salah satu founder komunitas tersebut mengungkap, hal ini dimulai dari ketertarikan membahas berbagai hal dan sepak terjang yang dilakukan Turki di sebuah grup diskusi sejak akhir tahun 2014 lalu.
Ia mengaku pembahasan yang ramai diperbincangkan adalah mengenai sisi sejarah dan keterkaitan Turki dengan Indonesia.
“Berawal dari sebuah grup diskusi di berbagai kanal media sosial pada akhir tahun 2014 lalu dengan membahas dari sisi sejarah dan hubungan antara Turki dan Indonesia kala itu. Ternyata mengundang respon dan ketertarikan positif bagi publik, sehingga bahasan-bahasan sepak terjang Turki hingga kini pun masih benar-benar menginspirasi, khususnya bagi masyarakat Indonesia.” ujar Pria yang akrab disapa Fiqri ketika memberikan keterangan pers pada Ahad (8/4) di Masjid At Taibin, Menteng – Jakarta Pusat.
Senada dengan hal tersebut, pihaknya menambahkan bahwa kedepan Komunitas Sahabat Erdogan akan merutinkan kegiatan bersifat rutin berkala seperti diskusi sejarah peradaban Turki, peningkatan literasi hingga program kursus bahasa Turki.
“Iya mengawali kegiatan yang ada di komunitas kami ini kedepan rencananya kami akan rutinkan dengan kegiatan yang ringan dulu. Kami akan adakan diskusi terkait sejarah peradaban di Turki dan Indonesia, pendalaman literasi terkait Turki sendiri hingga program kursus bahasa Turki. Semua kami buka untuk umum.” tambahnya.
Kegiatan diskusi publik tersebut turut diisi oleh berbagai narasumber seperti Ferry Nur selaku Ketua Umum Komite Solidaritas untuk Palestina (KISPA) dan Senior Redaktur Kantor Berita Turki Anadolu Agency, Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi, serta ratusan peserta yang hadir pada diskusi tersebut. [ES]