Jakarta (Panjimas.com) – Dalam sebuah diskusi publik yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana dan Profesi Perpolisian Infonesia (ISPPI) di Auditorium PTIK, Jakarta, Rabu (4/4) lalu, bertajuk “Siapa Dibalik Penyerangan Ulama: Kriminal Murni atau Rekayasa”, dipaparkan kronologis penganiayaan terhadap Pengasuh Ponpes Al Hidayah Cicalengka, KH Umar Basyri, yang ditenggarai pelakunya orang gila oleh kepolisian.
Adik KH. Umar Basyri, Amas Mansyur yang hadir sebagai narasumber memaparkan kronologi kejadian penyerangan terhadap pimpinan Ponpes Al Hidayah itu. Pada 27 Januari 2018, sekitar pukul 05.30 ba’da shalat Shubuh di Pesantren, para santri, pimpinan dan masyarakat biasa melaksanakan Shubuh berjamaah, wirid, doa, dan musofahah (bersalam-salaman).
“Setelah itu, anak-anak langsung masuk ke Madrasah dan para jamaah pulang ke rumah masing-masing. Kakak saya tidak terburu-buru pulang. Kejadiannya disaat anak-anak masuk ke Madrasah dan para jamaah sudah pulang, disitulah terjadi penganiayaan dan tidak ada saksi yang melihatnya,” cerita dia.
Ketika para santri mau di BAP, lanjutnya, santri tidak ada yang menyaksikan peristiwa nahas tersebut. Namun, ada santri yang ketinggalan shalat subuh. Ketika menyalakan lampu masjid, ia melihat sang Kyai sudah bergeser dari tempatnya dengan banyak lumuran darah.
“Pak Kapolsek menanyakan barangkali ada hal yang janggal baik sebelumnya ataupun jauh. Sebulan sebelum itu, anak-anak ingat ada orang masuk masjid tidak mau buka sandal. Ketika ditegur, anak itu marah dan mengejar santri hingga menggedor kaca. Mendekati hari H, ada yang masbuq dan janggalnya tidak menambah rakaat. Ketika dzikir dan doa, dia ada tetapi tidak ikut musofahah. Dan santri mengatakan itu adalah orang yang sama sebulan lalu,” terangnya.
Awalnya, ia tidak dapat menuduh pelaku orang gila atau bukan karena sebelumnya tidak pernah melihat. Namun, ia mendapatkan informasi bahwa pelaku merupakan orang gila, seperti yang dijelaskan oleh Kapolres Cirebon.
“Kami minta ke pengacara agar disampaikan ke penyidik, untuk BAP keluarganya (Kapolres Cirebon). Dan ini bertujuan untuk menghilangkan tuduhan-tuduhan miring kepada polisi,” tutup dia.
Mirip Tragedi Banyuwangi
Penyerangan terhadap ulama sejak Februari lalu menjadi pertanyaan besar beberapa pihak. Berbagai spekulasi muncul. Namun, jika dikaitkan dengan fakta sejarah, peristiwa ini mirip dengan tragedi Banyuwangi tahun 1998. Apakah ada operasi intelijen?
“Kemungkinan ada. Dulu, Februari 1998 terjadi kekerasan politik yang luar biasa di Banyuwangi, orang yang diduga melakukan praktik ilmu hitam atau santet diselamatkan. Padahal, 147 orang yang dituduh dukun santet adalah guru ngaji yang kritis terhadap pemerintah,” ujar pakar hukum tata negara Mahfud MD dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana dan Profesi Perpolisian Infonesia (ISPPI) di Auditorium PTIK, Jakarta, Rabu (4/4).
Lebih lanjut, mantan Ketua MK itu menyampaikan tidak menutup kemungkinan terdapat konspirasi yang dilakukan oleh swasta untuk menyerang lawan politiknya dan mengadu domba antar anak bangsa menjelang pesta demokrasi. Dimana, kata Mahfud, hal itu berlanjut dari isu SARA Pilkada DKI Jakarta.
“Jika kita melihat, posisi polisi ini dilematis. Mengungkap kasus secara cepat dibilang sudah di skenario, tidak ditangani secara cepat terkesan menutup-nutupi. Saran saya, polisi tetap bekerja sesuai Undang-Undang dan harus tegas kepada orang yang melabeli Islam di balik perbuatan anarkisnya,” tuturnya. (ass)