Jakarta (Panjimas.com) – Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad menganjurkan kepada kaum muslimin, baik yang menggunakan hak pilih atau yang tidak menggunakannya agar selalu bersatu dan menjaga ukhuwah islamiyah serta menjauhi perdebatan yang hanya melemahkan kaum muslimin. Anjuran menggunakan hak pilih bukan berarti anjuran untuk terlibat langsung dalam kancah perpolitikan.
Pernyataan itu terungkap dalam Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad No: 004/DFPA/VI/1439 tentang bolehnya menggunakan hak pilih dalam Pemilu., ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 20 Februari 2018 lalu.
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad terdiri dari Dr. Firanda Andirja, Lc, MA (Ketua), Nizar Sa’ad Jabal, Lc, M.PdI (Sekretaris), dan para anggota lainya, meliputi: Dr. Syafiq Riza Basalamah, Lc, MA, Dr. Sofyan bin Fuad Baswedan, Lc, MA, Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc, MA, Dr. Khalid Basalamah, Lc, MA, dan ustadz lainnya.
Perhimpunan Al Irsyd juga mengajak kepada kaum muslimin untuk terus menuntut ilmu agama, terutama tauhid dan mendakwahkannya, bertawakal kepada Allah serta bertakwa kepada-Nya, apapun yang terjadi dan siapapun pemimpinnya, karena takwa kepada Allah lah yang akan memberikan solusi.
Menurut pandangan Perhimpunan Al Irsyad, kepemimpinan adalah salah satu aspek yang dianggap sangat penting dalam Islam. Hal ini bisa dilihat dari begitu banyaknya ayat dan hadits Nabi Saw yang membahas tentang ini, dikarenakan sangat besar pengaruh pemimpin terhadap baik buruknya kehidupan suatu masyarakat.
Pemilu merupakan permasalahan besar yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat umum dan menyangkut hajat orang banyak, masalah ini juga bisa dikategorikan dalam masalah “ma ta’ummu bihil balwa” atau perkara yang menimpa masyarakat luas, bahkan di beberapa negara yang dulunya tidak ada pemilihan umum pun, sekarang mulai memberlakukan aturan itu, walaupun hanya di beberapa lini pemerintahannya.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa masalah pemilihan pemimpin merupakan masalah penting. Oleh karenanya Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad menganggap perlunya menjelaskan hukum menggunakan hak pilih (mencoblos) dalam pemilu, pemilihan legislatif, kepala daerah dan presiden.
Dewan Fatwa memandang, pada dasarnya sistem demokrasi bukan berasal dari Islam dan membawa mudarat yang sangat besar. Di dalamnya terdapat banyak hal yang menyelisihi syariat, baik pada dasar pemikirannya maupun aplikasinya.
Adapun berpartisipasi dengan menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum, maka hal ini dianjurkan oleh banyak ulama
Ahlus Sunnah, di antaranya; Syaikh Bin Baz, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Syaikh Muhammad Bin Sholih Al Utsaimin, Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad, Syaikh Shalih Al Fauzan, Syaikh Shalih Al Luhaidan, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh Mufti Kerajaan Arab Saudi, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri, Syaikh Ibrahim Ar Ruhaily, Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi, Al Lajnah Ad Daimah, dan lain-lain.
Dalil yang dijadikan sebagai dasar dalam masalah ini adalah kaidah yang berbunyi : “Menempuh kemudaratan yang lebih ringan dalam rangka menjauhi kemudaratan yang lebih besar”.
Dalil untuk kaidah ini sangat banyak di antaranya: Kisah Nabi Khodir ‘Alaihis salam yang merusak kapal agar kapal tersebut tidak dirampas oleh raja yang zalim. (Lihat surat al-Kahfi : 79). Padahal merusak kapal adalah kemudaratan, akan tetapi ditempuh agar tidak menimbulkan kemudaratan yang lebih besar yaitu dirampasnya kapal oleh raja.
Kemudian, kaum muslimin gembira tatkala Romawi mengalahkan Persia, padahal kedua-duanya adalah musuh Islam, hanya saja Romawi lebih dekat ke Islam (karena Ahlul Kitab) dari pada Persia penyembah api.
Nabi Yusuf ‘Alaihis salam menjadi menteri dalam kerajaan Mesir, padahal kerajaan Mesir adalah kerajaan kafir, dan Nabi Yusuf ‘Alaihis salam tidak bisa mengubah semua hukum dalam kerajaan. Namun paling tidak beliau bisa meminimalkan kemudaratan. Padahal keberadaan Nabi Yusuf ‘Alaihis salam dalam kerajaan Mesir bisa saja menimbulkan presepsi bahwa Nabi Yusuf ‘Alaihis salam mendukung sistem kerajaan tersebut secara keseluruhan.
Kisah Arab Badui yang kencing di masjid dan Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam membiarkan saja padahal hal itu mengotori masjid. Berdasarkan kaidah ini maka penggunaan hak pilih serupa dengan sikap Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam membiarkan seorang Badui yang kencing di masjid, meskipun hal itu termasuk kemudaratan karena menodai masjid, bahkan Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam mencegah para sahabat yang hendak melarang Arab Badui tersebut meneruskan kencingnya, karena justru akan menimbulkan kemudaratan yang lebih besar.
Jika ia tetap dilarang kencing padahal sudah terlanjur mengeluarkan air kencingnya, maka bisa jadi air kencingnya akan semakin berhamburan atau menyebar di masjid. Pada peristiwa ini, tidak boleh dikatakan bahwa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam mendukung kencing di masjid (tindakan menajiskan masjid) dan tidak boleh pula dikatakan bahwa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bertanggungjawab terhadap ternajisinya masjid yang merupakan dampak kencing di masjid. (ass)