RAMALLAH, (Panjimas.com) – Pemerintah Palestina menjadikan hari Sabtu tanggal 31 Maret sebagai hari berkabung nasional menyusul gugurnya 15 Syuhada Palestina akibat tembakan brutal pasukan Israel selama aksi “Great Return March” [Gerakan Pulang Raya].
Toko-toko di seberang wilayah Tepi Barat yang diduduki menutup pintu-pintu toko mereka, bahkan universitas dan sekolah pun meliburkan kelas-kelas pembelajaran mereka selain itu di berbagai tempat bisnis tampak minimnya aktifitas ekonomi, dikutip dari AA.
Setidaknya 15 warga Palestina di Jalur Gaza gugur menjadi martir dan ratusan lainnya luka-luka ketika pasukan Israel menembaki para pengunjuk rasa yang memperingati “Hari Tanah ke-42”, tanggal 30 Maret ini merupakan peringatan tahunan Palestina atas kematian 6 warga Arab yang dibunuh oleh pasukan Israel pada tahun 1976 selama aksi demonstrasi atas perampasan paksa lahan di Israel Utara.
Menanggapi banyaknya korban jiwa dan luka dalam Aksi “Great Return March”, Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyatakan hari Sabtu sebagai hari berkabung nasional atas kematian belasan warga Palestina, Jumat (30/03).
“Faksi-faksi Palestina telah menanggapi keputusan presiden untuk menyatakan berkabung atas korban pembantaian Israel,” ujar Wasel Abu Yusuf, seorang anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), dikutip dari AA.
“Pasukan nasional dan Islam mengumumkan pemogokan umum di semua wilayah Palestina dan menyerukan aksi demonstrasi untuk memprotes pembantaian Israel terhadap orang-orang kami di Gaza,” tegasnya.
Sementara itu, ribuan pelayat di Jalur Gaza pada hari Sabtu (31/03) menguburkan jenazah 6 pengunjuk rasa yang gugur meninggal dunia akibat tembakan Israel sehari sebelumnya.
Sembilan jasad pengunjuk rasa lainnya telah dimakamkan di Gaza pada hari Jumat (30/03).
Aksi demonstrasi Jumat adalah awal dari rentetan aksi protes selama 6 pekan yang memuncak pada tanggal 15 Mei, warga Palestina menyebutnya sebagai “Nakba”, atau “Malapetaka”, ketika Israel diciptakan.
Para demonstran menuntut agar para pengungsi Palestina diizinkan mendapatkan hak-haknya untuk pulang kembali ke kota-kota dan desa-desa yang keluarga mereka diami saat terpaksa melarikan diri, atau diusir dari tanah miliknya, saat negara Yahudi Israel dideklarasikan pada tahun 1948.
Sejak Jumat pagi, puluhan ribu warga Gaza berkumpul di perbatasan Timur Gaza sepanjang 45 kilometer yang berbasan dengan Israel untuk menegaskan kembali hak-hak mereka untuk pulang kembali ke rumah leluhur dan tanah air mereka di Palestina yang bersejarah.
Puluhan ribu warga Palestina di Jalur Gaza, Jumat (30/03) lalu berkumpul di wilayah perbatasan Timur Gaza dengan Israel, di mana mereka menggelar aksi unjuk rasa “Great Return March” [Gerakan Pulang Raya] dalam rangka menegaskan kembali hak-hak mereka untuk kembali pulang ke rumah leluhur dan tanah air mereka di Palestina yang bersejarah.
Aksi demonstrasi massal Jumat (30/03) itu juga dimaksudkan untuk menekan Israel agar segera mencabut blokade terhadap wilayah pesisir Gaza yang sudah berlangsung selama lebih dari satu dekade.
Aksi ini didukung oleh hampir semua faksi politik Palestina, yang telah berulang kali menekankan bahwa kegiatan ini merupakan aksi damai.
Para aktivis Palestina menggambarkan kamp-kamp dan tenda-tenda perkemahan itu sebagai “titik pementasan untuk kami kembali ke tanah air dari mana kami diusir pada 1948”, dikutip dari Anadolu,
Meskipun aksi ini merupakan aksi damai, namun pasukan Israel menanggapinya dengan brutal hingga paling tidak 14 warga Palestina gugur menjadi martir akibat tindakan kejam dan brutal Militer Israel.
Hari Tanah ke-42
Dijuluki “Great Return March”, Aksi demonstrasi Jumat di Jalur Gaza juga bertepatan dengan “Hari Tanah ke-42”, memperingati pembunuhan 6 warga Palestina oleh pasukan Israel pada tahun 1976.
Pada tanggal 30 Maret tahun 1976, warga Palestina di wilayah Galilea Utara berdemonstrasi menentang perampasan Israel atas tanah-tanah Arab yang luas, yang mendorong pasukan Israel memasuki wilayah itu dengan kekuatan militernya.
Aksi demonstrasi pertama kali meletus di kota Deir Hanna, yang sebelumnya menjadi sasaran penindasan brutal oleh pasukan polisi Israel.
Hal ini kemudian diikuti oleh rentetan aksi protes lebih lanjut di kota Arrabeh, di mana seorang warga Palestina gugur – dan lusinan korban lainnya terluka – oleh serangan pasukan Israel.
Kematian warga Palestina memicu aksi demonstrasi luas – dan bentrokan dengan pasukan Israel – di beberapa komunitas Arab lainnya, di mana kemudian 6 warga Palestina lainnya terbunuh pada tahun 1976.[IZ]