Aceh (Panjimas.com) – Sehubungan dengan berita prostitusi online yang terungkap baru-baru ini di sebuah hotel di Jln Soekarno-Hatta Aceh Besar (21 Maret 2018) dan menjadi topik headline di media cetak dan online, Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda (MIUMI) Aceh Dr. M. Yusran Hadi Lc MA memberikan tanggapan kepada pers.
MIUMI Aceh sangat menyayangkan dan mengecam praktek prostitusi ini. Perbuatan ini telah melanggar syariat Islam. Ini jelas maksiat. Pelakunya dosa besar dan mesti dikenakan sanksi. Perbuatan ini juga telah mencoreng Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam dan meresahkan masyarakat Aceh.
“Praktek prostitusi ini tidak bisa ditolerir. Para pelaku dan germo atau mucikari prostitusi harus ditangkap dan dikenakan hukuman yang tegas sesuai hukum Islam yang berlaku di Aceh, agar kriminal ini tidak terulang lagi. Bisa jadi masih ada lagi praktek prostitusi yang belum terungkap sampai sekarang.”
MIUMI Aceh mencermati, praktek prostitusi yang diungkap baru-baru ini (Rabu, 21/3/2018) oleh pihak kepolisian bukanlah yang pertama kali terjadi di Aceh. Sebelumnya, pada tanggal 22 Oktober 2017 praktek prostitusi juga diungkap oleh kepolisian di salah satu hotel di Banda Aceh (Serambi Indonesia, 27/3/2018).
“Ini ibarat fenomena gunung es. Kemungkinan besar masih ada jaringan praktek prostitusi yang belum dibongkar dan diekspos di media. Ini diakui oleh germo yang tertangkap baru-baru ini. Maka kita sangat khawatir dengan kondisi masyarakat kita seperti ini,” kata Yusran Hadi.
MIUMI Aceh mendukung dan mengapresiasi kinerja polisi Aceh yang telah berhasil membongkar praktek prostitusi online di Aceh. Kasus ini harus diproses sesuai dengan hukum Islam yg berlaku di Aceh. Penerapan syariat Islam di Aceh menjadi tanggung jawab semua pihak di Aceh.
Berbagai maksiat prostitusi yang terjadi selama ini baik yang terungkap maupun yang belum terungkap akibat tidak diberikan hukuman yang tegas kepada para germo dan pelaku prostitusi sesuai dengan hukum Islam.”
“Mengingat Aceh telah resmi menerapkan syariat Islam, maka hukum Islam harus ditegakkan dalam persoalan prostitusi ini. Para pelaku dan germo/mucikari prostitusi mesti diberi hukuman sesuai dengan hukum Islam agar memberi efek jera dan pelajaran bagi mereka dan bagi orang lain sehingga pelanggaran syariat ini tidak terulang lagi di Aceh.”
Dalam hukum Islam, pelaku zina dikenakan hukuman had zina yaitu hukuman 100 kali cambuk dan diasingkan bagi yang belum kawin dan hukuman rajam bagi yang sudah kawin berdasarkan nash Alquran dan Hadits, jika terbukti melakukan zina sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan dalam Islam. Hukuman bagi germo atau mucikari prostitusi itu hukuman ta’zir berupa cambuk yang jumlahnya sesuai keputusan pemimpin atau hakim syariah.
Hukuman ta’zir adalah hukuman yang tidak ditentukan jenis dan jumlah hukumannya dalam Alquran dan As-Sunnah, namun diserahkan kepada pemimpin. Hukuman ta’zir bisa kurang atau melebihi hukuman had sesuai dengan bahaya kriminal.
“Germo atau mucikari prostitusi mesti dicambuk lebih dari 100 kali. Karena dialah sumber masalah dengan menawarkan dan menfasilitasi maksiat prostitusi dan menjadikannya sebagai sumber penghasilan. Perbuatannya ini lebih berbahaya dari sekedar perbuatan zina yang dilakukan oleh pelaku,” tandas Yusran Hadi.
Perbuatan germo ini, menurutnya, bisa menghancurkan moral dan tatanan kehidupan keluarga, masyarakat dan bangsa. Maka sangat pantas jika dihukum cambuk lebih 100 kali atau dihukum lebih berat dari para pelaku prostitusi itu sendiri.
“Hukum Islam berupa had zina telah diatur dalam qanun jinayah yang telah berlaku di Aceh. Maka Pemerintah Aceh mesti menjalankan qanun jinayah tersebut sesuai dengan amanah Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA). Tidak perlu ragu dan khawatir dalam menjalankan hukum Allah Swt. Karena seorang muslim wajib taat kepada Allah Swt. Umat Islam, khususnya masyarakat Aceh mendukung pelaksanaan syariat Islam di Aceh.”
MIUMI Aceh mengimbau kepada setiap orang tua untuk memberikan pemahaman agama dan bahaya prostitusi atau zina kepada keluarga dan anak-anaknya. Sehingga mereka tidak terjerumus ke dalam maksiat tersebut. Ini persoalan serius yang harus diperhatikan dan dicari solusi, tidak boleh dianggap sepele. Pendidikan agama harus menjadi tanggung jawab kita semua.
“Demikian tanggapan kami, semoga bermanfaat dan menjadi masukan kepada berbagai pihak serta menjadi solusi terhadap persoalan ini,” kata Yusran yang juga Pengurus Dewan Dakwah Aceh. (ass)