NEW YORK, (Panjimas.com) – Seorang pejabat tinggi PBB Jumat (30/03) lalu memperingatkan kemungkinan situasi yang memburuk di Jalur Gaza Palestina dalam beberapa hari mendatang. Ia pun mendesak Israel untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam kerangka hak asasi manusia internasional dan hukum kemanusiaan.
Dewan Keamanan PBB Jumat (30/03) segera mengadakan sidang darurat atas permintaan Kuwait karena situasi krisis di Gaza setelah 15 warga Palestina gugur menjadi martir akibat serangan tentara Israel selama aksi protes damai Jumat siang (30/03).
“Ada ketakutan akan situasi yang mungkin memburuk dalam beberapa hari mendatang,” pungkas Asisten Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Politik Taye-Brook Zerihoun di sela-sela sesi sidang darurat Dewan Keamanan PBB, dilansir dari Anadolu,
Ia pun mengungkapkan pada sesi darurat DK PBB bahwa pihaknya akan terus menekankan bahwa warga sipil tidak boleh ditargetkan dan bahwa semua pihak yang terlibat harus menahan diri dan tidak menempatkan anak-anak dalam bahaya.
Taye-Brook Zerihoun juga menuntut Israel memenuhi tanggung jawabnya di bawah hukum internasional dan menekankan bahwa kekuatan mematikan harus digunakan hanya sebagai upaya terakhir, dengan setiap kematian yang dihasilkan benar-benar diselidiki oleh pihak berwenang.
Perwakilan Tetap Kuwait di PBB, Mansour Al-Otaibi menegaskan bahwa para pengunjuk rasa Palestina “tidak bersenjata” dan Ia menekankan bahwa akksi demonstrasi itu bersifat aksi damai.
Al-Otaibi juga mengutuk keras serangan mematikan Israel.
Sementara itu, Diplomat AS Walter Miller mendorong kedua pihak untuk mengambil langkah-langkah untuk mencegah bentrokan lanjutan dan mencegah meningkatnya ketegangan. “Kami sangat sedih dengan hilangnya nyawa di Gaza,” ungkapnya.
Perwakilan Tetap Rusia di PBB, Vladimir Safronkov, mengatakan Moskow “sangat” prihatin dengan perkembangan situasi di Jalur Gaza.
“Ada kebutuhan nyata untuk meningkatkan upaya mediasi diplomatik dalam rangka untuk mengurangi situasi [memburuk],” imbuh Safronkov.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres. dalam pernyataan tertulisnya menyerukan penyelidikan independen dan transparan ke dalam bentrokan Gaza itu, sementara Dewan Keamanan sedang melakukan sesi darurat.
Guterres menyatakan keprihatinan mendalamnya mengenai bentrokan mematikan Gaza dan mendesak semua pihak menahan diri dari tindakan apa pun yang dapat menyebabkan korban tambahan, terutama tindakan yang dapat menempatkan warga sipil dengan cara-cara yang membahayakan.
“Tragedi ini menegaskan urgensi revitalisasi proses perdamaian yang bertujuan menciptakan kondisi untuk kembali ke perundingan bermakna untuk solusi damai yang akan memungkinkan Palestina dan Israel untuk hidup berdampingan dengan damai dan dalam keamanan,” imbuhnya.
Setidaknya 15 warga Palestina di Jalur Gaza gugur menjadi martir dan ratusan lainnya luka-luka ketika pasukan Israel menembaki para pengunjuk rasa yang memperingati “Hari Tanah ke-42”, tanggal 30 Maret ini merupakan peringatan tahunan Palestina atas kematian 6 warga Arab yang dibunuh oleh pasukan Israel pada tahun 1976 selama aksi demonstrasi atas perampasan paksa lahan di Israel Utara.
Menanggapi banyaknya korban jiwa dan luka dalam Aksi “Great Return March”, Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyatakan hari Sabtu sebagai hari berkabung nasional atas kematian belasan warga Palestina, Jumat (30/03).
“Faksi-faksi Palestina telah menanggapi keputusan presiden untuk menyatakan berkabung atas korban pembantaian Israel,” ujar Wasel Abu Yusuf, seorang anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), dikutip dari AA.
“Pasukan nasional dan Islam mengumumkan pemogokan umum di semua wilayah Palestina dan menyerukan aksi demonstrasi untuk memprotes pembantaian Israel terhadap orang-orang kami di Gaza,” tegasnya.
Sementara itu, ribuan pelayat di Jalur Gaza pada hari Sabtu (31/03) menguburkan jenazah 6 pengunjuk rasa yang gugur meninggal dunia akibat tembakan Israel sehari sebelumnya.
Sembilan jasad pengunjuk rasa lainnya telah dimakamkan di Gaza pada hari Jumat (30/03).
Aksi demonstrasi Jumat adalah awal dari rentetan aksi protes selama 6 pekan yang memuncak pada tanggal 15 Mei, warga Palestina menyebutnya sebagai “Nakba”, atau “Malapetaka”, ketika Israel diciptakan.
Para demonstran menuntut agar para pengungsi Palestina diizinkan mendapatkan hak-haknya untuk pulang kembali ke kota-kota dan desa-desa yang keluarga mereka diami saat terpaksa melarikan diri, atau diusir dari tanah miliknya, saat negara Yahudi Israel dideklarasikan pada tahun 1948.
Sejak Jumat pagi, puluhan ribu warga Gaza berkumpul di perbatasan Timur Gaza sepanjang 45 kilometer yang berbasan dengan Israel untuk menegaskan kembali hak-hak mereka untuk pulang kembali ke rumah leluhur dan tanah air mereka di Palestina yang bersejarah.
Puluhan ribu warga Palestina di Jalur Gaza, Jumat (30/03) lalu berkumpul di wilayah perbatasan Timur Gaza dengan Israel, di mana mereka menggelar aksi unjuk rasa “Great Return March” [Gerakan Pulang Raya] dalam rangka menegaskan kembali hak-hak mereka untuk kembali pulang ke rumah leluhur dan tanah air mereka di Palestina yang bersejarah.
Aksi demonstrasi massal Jumat (30/03) itu juga dimaksudkan untuk menekan Israel agar segera mencabut blokade terhadap wilayah pesisir Gaza yang sudah berlangsung selama lebih dari satu dekade.
Aksi ini didukung oleh hampir semua faksi politik Palestina, yang telah berulang kali menekankan bahwa kegiatan ini merupakan aksi damai.
Para aktivis Palestina menggambarkan kamp-kamp dan tenda-tenda perkemahan itu sebagai “titik pementasan untuk kami kembali ke tanah air dari mana kami diusir pada 1948”, dikutip dari Anadolu,
Meskipun aksi ini merupakan aksi damai, namun pasukan Israel menanggapinya dengan brutal hingga paling tidak 14 warga Palestina gugur menjadi martir akibat tindakan kejam dan brutal Militer Israel.
Hari Tanah ke-42
Dijuluki “Great Return March”, Aksi demonstrasi Jumat di Jalur Gaza juga bertepatan dengan “Hari Tanah ke-42”, memperingati pembunuhan 6 warga Palestina oleh pasukan Israel pada tahun 1976.
Pada tanggal 30 Maret tahun 1976, warga Palestina di wilayah Galilea Utara berdemonstrasi menentang perampasan Israel atas tanah-tanah Arab yang luas, yang mendorong pasukan Israel memasuki wilayah itu dengan kekuatan militernya.
Aksi demonstrasi pertama kali meletus di kota Deir Hanna, yang sebelumnya menjadi sasaran penindasan brutal oleh pasukan polisi Israel.
Hal ini kemudian diikuti oleh rentetan aksi protes lebih lanjut di kota Arrabeh, di mana seorang warga Palestina gugur – dan lusinan korban lainnya terluka – oleh serangan pasukan Israel.
Kematian warga Palestina memicu aksi demonstrasi luas – dan bentrokan dengan pasukan Israel – di beberapa komunitas Arab lainnya, di mana kemudian 6 warga Palestina lainnya terbunuh pada tahun 1976.[IZ]