Jakarta (Panjimas.com)– Tak kurang dari 700 ulama akan menghadiri Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia yang akan berlangsung di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat 12-15 April.
Selain terdiri dari para pimpinan Komisi Fatwa MUI se-Indonesia, hadir pula perwakilan ormas Islam, unsur pondok pesantren, perguruan tinggi, dan para cendekiawan hukum Islam.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua Umum MUI Pusat, Dr KH Zainut Tauhid, usai silaturahim dengan Bupati Lombok Tengah H M Suhaili FT di Pendopo Bupati Loteng, beberapa waktu lalu (18/1).
Zainut mengatakan, saat ini pihaknya sedang mensurvei beberapa pondok pesantren (ponpes) di Pulau Lombok khususnya, yang akan dijadikan lokasi Ijtima’. Termasuk beberapa ponpes yang ada di Loteng. “Untuk lokasi pastinya memang belum ditentukan. Tergantung hasil survei. Tetapi yang pasti di wilayah NTB sesuai dengan keputusan MUI, ” ujarnya.
Dia mengungkapan terpilihnya NTB sebagai lokasi pelaksanaan salah satu agenda tertinggi MUI itu bukan tanpa alasan. Selain dikenal sebagai bumi seribu masjid, NTB juga tersohor sebagai basis pengembangan wisata halal yang merupakan salah satu perwujudan Islam moderat.
“Indonesia itu merupakan kiblat Islam moderat tak lagi hanya Timur Tengah. Dan, perwajahan Islam moderat itu salah satunya di Indonesia ialah NTB, ” kata dia.
Menurut Zainut, salah satu tema khusus bahasan Ijtima’ adalah pengembangan wisata halal, yang juga merupakan alasan penting penentuan NTB sebagai lokasi penyelenggaraan Ijtma’ nasional tahun ini.
Dia menambahkan, sejumlah fatwa penting akan dirumuskan dalam perhelatan ini. Terutama menyikapi tiga hal utama yaitu kebangsaan dan kenegaraan, masalah keagamaan kontemporer, serta hal-hal yang berkaitan dengan perundang-undangan. “Ijtima’ ini merupakan forum tertinggi MUI untuk mengembangkan sembilan kebijakan terkait fatwa-fatwa keagamaan, ” tutur dia.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat, Dr KH Asroun Niam Sholeh, mengatakan agenda Ijtima’ di antaranya masalah redistribusi aset seiring dengan kebijakan pusat mengenai landreform. Kemudian soal mekanisme pemungutan dan pendayagunaan pajak untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat dan utang di dalam pembangunan nasional.
Termasuk di dalamnya, kata Asrorun, soal hak-hak pribumi dalam Islam terkait pengembangan kebijakan, etika kepengacaraan dalam fikih Islam serta pengembangan wisata syariah dan pengelolaan zakat, infak, dan sedekah. Hal ini seiring dengan semakin banyaknya lembaga pengelola dan penghimpun zakat perlu ada regulasi yang mengatur supaya ada kepastian pengelolaan zakat sesuai dengan hukum dan syariat Islam. “Khusus terkait perundang-undangan akan membahas soal kriminalisasi LGBT, revisi KUHP sampai Ahmadiyah,” tutur dia []